Selasa, 28 Februari 2012

C sepasi D, ya ampuun!

Ada seorang teman, yang begitu bersinar di komunitas tulis-baca di makassar, sangat saya kagumi, saya hormat kepadanya, tapi sepertinya begitulah bintang adanya :P Kita tak perlu mendekatinya, kita hanya butuh melihatnya dari jauh. Semakin dekat maka kita akan semakin tahu kejelekannya. Celaka, saya sekarang justru semakin tahu celah-celahnya sebagai manusia, caranya bersikap kepada orang lain. Tapi itulah dia, yang membangun dunianya, bukankah saya juga begitu. Sayalah yang melihat dunia, bukan memikirkan bagaimana dunia berpendapat tentang saya. Jadi, yah sudahlah, selama puisi-puisinya masih bisa dinikmati, sampai di situ sajalah.

Ada seorang teman, beberapa teman, yang membuat saya gregetan. Mereka yang selama ini jadi 'figuran', jarang yang jadi pemeran utama, setelah mencoba berinteraksi dengan mereka, saya menggerutu "Sial, mengapa bukan orang ini saja yang eksis? Mengapa harus si narsis, si sombong, si angkuh itu yang harus selalu menang?" Ataukah orang-orang yang jauh lebih cerdas ini telah merasa cukup berada di belakang "sang utama", yang tak berhenti bekerja mendongkrak nama si pemenang? Dibalik keesklusifan beberapa orang ternyata banyak orang yang jauh lebih cerdas mengalah. Sangat disayangkan, tapi itulah yang harus terjadi! Mereka menerima untuk mundur, lebih banyak bekerja dan berfikir walau tak terlalu didengar dan diperhatikan. Merekalah yang berusaha sedangkan pemenang tinggal "dadah-dadah" saja diiringi tepuktangan keriuhan yang mengidolakannya. Membuat saya berfikir, saya tak harus selalu fokus terhadap apa yang telah dilakukan sang pemenang untuk mencapai puncak, tapi siapa-siapa yang dikalahnya, yang ada kemungkinan justru merekalah yang lebih hebat.

Ada seorang teman, tempatku mendiskusikan hal-hal di atas. Kalah menang ternyata hanya waktu, itu siklus. Kalah dan menang memang kita rasakan tak berbanding jumlahnya, kita merasa lebih banyakan harus mengalah daripada menang. Teman yang menang ini, yang selama ini selalu eksis sekarang hidupnya jadi parasit, karena selama ini kemenangan yang dibuatnya justru kerja teman-temannya di belakang, yaitu pihak "yang kalah", yang tak butuh eksis. Saat komunitas mereka berada di posisi sekarat, semua orang menyelamatkan dirinya masing-masing terbukti siapa yang bisa bertahan. Semua orang mengerahkan kekuatannya untuk tetap ada, jadi mereka telah ditempa dengan berbagai kesusahan. So, yang tugasnya 'melambaikantangan', pekerjaan seperti itu apa masih ada gunanya saat mendekati bangkrut?

Yang berproseslah yang bertahan. Yang tidak berproses dan memiliki tendensi pribadi tidak akan kuat bertahan. Begitulah, sms ini menyudahi percakapan tadi malam, itulah kesimpulan temanku, yang sekaligus menjadi kesimpulanku juga.

Masih ada (lagi) seorang teman yang sudah lama tak bertemu selalu mengirimi sms penyemangat. Saya tak menyangka dia masih menyimpan nomor saya. Sayang sekali, smsnya tidak bisa meresap di hati saya. Saya merasa lebih efektif bekerja daripada harus capek-capek membaca dan menghayati apa isi smsnya, yang juga jadi isi statusnya di facebook. Hati saya kayak abege saja selalu menggerutu "capek deh!" tiap kali ada sms darinya. Tapi tak apalah, jika itu kesenangan buatnya.