Senin, 31 Januari 2011

E K S E P S I

Dua hari yang lalu, Anda membuat mataku muntah... Malam ini giliran pikiranku yang tumpah! Menambah saja pemborosan emosiku yang terbuang percuma... Mengapa masih harus memikirkan kata-kata dari seorang “hakim” sepertimu, seolah palumu selalu butuh terketuk untuk sebuah putusan tersangka pada orang yang bisa saja tak bersalah?
Mulut Anda tak berhenti menyerangku saat pandanganku mulai kabur melihat kertas-kertas di mejamu yang sepertinya hanya bisa menonton, tak mau memihak salah satu dari kita. “Nah, saya sudah tak bisa lagi bicara kalau orang sudah nangis!”, lalu mengapa setelahnya Anda masih memancing? Bukan tissu yang Anda tawarkan, tapi tuntutan berikutnya...

“Mengapa kau menangis, apa masalahmu Dek?”, dan meluncurlah para nasehat yang tak bisa berimigrasi ke pikiranku. Saya harus bilang dalam hati, bahwa bukan hatiku yang dingin tak bisa tercairkan oleh kalimat-kalimat “panas”mu, tapi sepertinya hati Anda yang patut dipertanyakan tak bisa membaca nafasku yang tersesat mencari jalan keluar karena tersedak akan semua kemarahan dan kekesalan yang akhirnya saya hanya bisa menangis. Itulah senjataku melindungi diri dari orang yang lebih tua, saya merasa tak pantas melawan.

Menangis? Sepertinya lucu, mungkin! “Kita semua punya masalah. Saya punya Nenek yang meninggal tadi pagi, tapi saya tidak pergi ke sana...!”. Tuturmu santai, beruntunglah saya bukan Nenek Anda. Hehehe. Berhubung karena solusi yang Anda tawarkan basi, maka kesempatan ini saya menjawab pertanyaan basi ‘mengapa seseorang bisa menangis?’, karena dia takut orang yang dicintainya, kebahagiaannya terenggut. Walau Anda berhasil membuat saya sedih selama setengah jam, tapi semoga taraf kebahagiaan saya jauh lebih ke puncak daripada Anda.

Bagi Anda, mungkin saya termasuk manja, ya boleh... sehingga Anda pun bisa kelihatan lebih tegar dari saya, “Sebagai wanita kita harus kuat, Dek!”. Tapi bagi saya itu bukan TEGAR, melainkan TEEEGAAAA... (tanpa huruf ‘R’ yah!) =P Dan begitulah ‘orang-orang’ normal, katakanlah cara berfikirnya kurang lapang. Sepertinya uang di dompet dan rekening Anda pun tak akan mampu membeli ‘kelapangan’ berfikir, hanya kesensitifan hati untuk mencoba menceburkan diri ke penderitaan orang lain yang bisa jadi ‘alat tawar’nya.

“Temanmu sudah banyak yang berpenghasilan tetap, sudah berhasil. Coba kalau kau juga dari dulu...!” Saya menunduk, Ya Tuhan, ‘hakim’ ini sungguh berani memperbanding-bandingkan ketentuanMu, apalagi ukurannya hanya materi.

Keluar dari ruanganmu, tiba-tiba hatiku sedang musim gugur. Daun-daun teori-teori yang Anda tanam telah gugur seketika, saat Anda telah berhasil menampakkan keinginan berkuasanya atas diri saya, saat Anda telah berhasil membuat saya tiba-tiba terbentur parah.

Maaf, jika Anda membaca ini. Di sini, giliranku yang jadi hakim, sang tersangka yang mencoba membela diri. Saya adalah ‘tuhan’ dari kata-kataku sendiri...

Kau terbang, aku hanya melangkah di darat. Kau bisa mendarat, tapi aku tak bisa mengudara! Lalu, jangan kau mencelaku hanya karena jalanmu bebas hambatan. Tanggalkan sayapmu dan langkahkan kakimu di jalan berbatu yang sebelumnya hanya pandanganmu yang menapakinya. Itupun mungkin belum menjamin kau merasakan apa yang aku rasakan...