Jumat, 15 Agustus 2008

UNTUK MATAHARI



Umur sembilan puluh tahun tak jauh beda dari usia sembilan bulan bagi manusia. Kewalahan mencerna makanan biasa, tak ada lagi gigi yang memagari di saat kau tersenyum. Kulit kian menipis menampakkan pipa-pipa kecil saluran darah. Begitupun dengan acara mandi, saya menikmati saat membantumu menggosok punggungmu. Saya serasa bermain dengan seorang bocah waktu membuatkan busa di rambutmu yang kian menipis.
Mungkin karena sudah semakin kurang hal yang kuasa kau lakukan sehingga kau menjadi makhluk yang paling mengandalkan suara. Begitu banyak mutiara keluar dari bibirmu. Mutiara-mutiara yang sudah kau kumpulkan sepanjang usiamu. Yah, tiba saatnya kau menjadi matahari.
Bukan matahari yang berputar, justru planet-planet inilah yang mengelilingi matahari. Matahari hanya cukup berbaring di tempat tidur. Kami yang akan mengelilinginya agar kami dapat pantulan cahayamu. Cahaya yang akan kami simpan baik-baik dalam kotak hati kami. Hingga suatu saat engkau akan lebih dirindukan Sang Pencipta, maka cahaya itu akan tetap ada, menerangi kami sepanjang hidup.
Memang tepat sekali Ambo’mu menganugerahkan nama Matahari kepadamu, meski orang-orang memotongnya saat menyebut dan memanggil namamu menjadi Pu Tahi’.

Dari salah seorang planetmu…



NB :
Ambo : ayah.
Pu (Pung) : panggilan untuk orang yang lebih tua.