Rabu, 28 September 2011

SAYAP-SAYAP INGATAN

Semua yang berhasil dikumpulkannya, puji-pujian dan prestasi telah membuatkannya sayap. Mungkin itulah mimpinya, mengangkasa. Hanya sesekali bahkan akan melupakan cara berjalan. Lama-kelamaan kaki itu pun akan hilang, karena seluruh yang dia makan untuk memperlebar sayapnya agar bisa memeluk langit. Maka makin tinggilah meninggalkan daratan. Kemudian, dia hanya akan dipandang sebagai titik yang jauh di sana dan menghilang ditelan langit.

Sedangkan aku, tak perlu langit, tak perlu terbang. Kenangan ini telah meluas melebihi langit. Kutelah memiliki angkasa di kepalaku, jadi percumalah sayap itu. Percuma punya sayap jika untuk melupakan, beruntunglah kupunya ingatan agar tak mudah meninggalkan…

Kamis, 08 September 2011

TELINGA-TELINGA

Dunia sepertinya tak akan pernah alpa : bernafas dan berdetak dengan cinta. Tentang pengorbanan, tentang kepahlawanan, semua kisah harus melibatkan cinta. Pada novel, film, musik, semuanya mesti terinfeksi. Pahlawan super yang harus memakai topeng guna mengaburkan identitasnya, memang sisi humanitas mendominasi cerita, tapi lagi-lagi wajib menyelipkan sisi lain dari pahlawan super. Bagaimana yang dicintainya justru menggilai dirinya yang pahlawan bagi banyak jiwa, namun yang di depannya hanya hadir seorang pahlawan yang menanggalkan tugas-tugas mulianya. Seseorang yang menghadirkan dirinya apa adanya, ingin dicintai bukan karena jasa-jasanya di balik topeng itu, bukan pahlawan bagi orang banyak, hanya ingin jadi pahlawan bagi diri sang kekasih.

Sekarang, aku di depanmu. Tak ada bunga, tak ada coklat, tak ada surat, hanya diam yang kusuguhkan. Sudahlah, cerita romantik seperti itu hanya rekaan, cinta pada kelanjutannya adalah masalah dan tanggung jawab. Cinta memang senang memperlihatkan sisi terangnya untuk menyembunyikan bagian yang kelam itu. Cinta tak seindah namanya…

Akulah diamnya, biarkan kaulah yang jadi ramainya. Aku sungguh senang jika kau berkeluh kesah, bercerita tentang apapun. Jika ini lagu, biarkan aku yang jadi pengiringnya, kaulah yang menjelma liriknya. Ceritakan semua, tentang tawa yang bermekaran, tentang kemarau yang begitu deras yang bisa memadamkan bahagiamu. Ceritakan kemana nasib mengalirkan hidupmu,aku menyimak!

Tumpahkan, ada banyak pendengar di tubuhku yang bersedia menampungnya. Tuangkan semua masalah agar setelah kau bercerita, yang tersisa di pikiranmu tinggal solusi –yang selama kita terpisah- sedang menjadi bagian dari antrian yang lama untuk diberi jalan, berdesak-desakan dengan masalahmu yang berlimpah. Jalan keluar itu, selama itu telah resah ingin diberi ruang untuk menampilkan dirinya dengan leluasa.

Tenanglah, tubuhku bukan hanya punya dua telinga, ada telinga di pori-pori kulitku, di kukuku, ujung-ujung rambutku pun adalah beribu mikropon yang berukuran sepernya dari seper ukuran kuman, semuanya khusus untuk ‘unjuk rasa’mu. Akulah manusia telingamu, datanglah jika kau perlu dan pulanglah dengan bahagia… Aku manusia telingamu seorang.


Oh Tuhan, saya tak akan menolak semua pemberianMu, tapi ijinkan saya meminta padaMu. Anugerahkan padaku kekayaan kesempatan agar bisa berkumpul dengannya sesering-seringnya…