Rabu, 23 Maret 2011

MALAM “TUMBEN” INSAF

Malam selalu harus berdurasi panjang, ada banyak cerita yang menggelayut di kepala meminta untuk diceritakan. Begini, saya hanya ingin memberitahukan bahwa saya sudah jarang pulang kampung. Saat nenek saya masih hidup dan sehat, beliau sering bercerita tentang masa kecil kami, masa lalunya dia, atau tentang dongeng-dongeng yang tak bisa dijangkau jamannya bahkan (mungkin) oleh kakeknya sendiri. Kampung, dalam pikiran saya tahun-tahun terakhir ini hanya berbentuk cerita, salah satunya melalui cerita Mak kepada saya jika beliau menghadiri acara keluarga.


Teman-temanku mungkin mencapku sombong, anak desa yang telah durhaka karena jarang berkumpul lagi dengan mereka. Saya lebih senang menyebutnya ‘menabung rindu’. Pun sedikit kecewa juga, keindahan desa yang kurasakan hanya terbingkai oleh dongeng-dongeng para orang tua. Desa-desa kini telah mengkhianati kesederhanaannya, yang dipaksa menjadi kota oleh penghuninya. Jadi, bukannya tak ingin pulang, hanya merasa tak ada perbedaan. Dari kota pulang ke desa yang ‘nanggung’ jadi kota.


Saya jadi ingat seorang teman sekelas, dia seorang siswi lumayan rupawan. Pun kepintarannya jangan diragukan, jika ujian tiba dia akan begadang untuk menghapal satu buku demi sebuah nilai yang bagus. Heheheheh… Namun, yang sangat jadi perhatiannya adalah poninya, sepertinya dunia akan jungkir balik kalau dia belum menjenguk mukanya sesekali di cermin membetulkan kemiringan poninya!


Suatu pagi, saya dengan beberapa teman duduk di halaman sekolah. Sepertinya Tuhan membuatku harus berfikir tanpa harus belajar di kelas pagi ini, sebuah kejadian kecil membuat saya kecewa. Kebetulan La Kato’, seorang penjual *roti otti di kampungku lewat. Segera kupanggil karena memang pagi itu saya belum sempat sarapan. Beberapa teman yang sudah mengenalnya segera mendekat untuk membeli juga. La Kato’ segera memarkir sepedanya.


Saya mengajak si Bintang Kelas ini turut merasakan enaknya jajanan yang satu ini, dia langsung memperlihatkan wajah jijik melihat La Kato’.


“Enak lo!” kata saya.


“Ah, janganmi! Tidak jijikko Nay lihat mukanya? Ih….!” Dia meludah.


Semua hal-hal yang bagus selama ini kulihat padanya berguguran. Saya tak melihatnya lagi sebagai salah seorang siswi pintar di kelasku, tapi hanya seorang budak nilai. Saya berbalik mengucilkannya, bahwa dengan mudah dia menganggap najis seseorang hanya karena fisiknya, hanya dengan melihat mata La Kato’ yang tak lagi sempurna, hanya karena dia jijik kepada giginya yang tak rapi. Saya malah menyesal mengapa pernah mengakui bahwa dia pintar.


La Kato’, selain tiap paginya keliling kampung bersepeda untuk menjual roti buatan Maknya yang sudah janda, dia juga bekerja sebagai penjaga salah satu masjid yang lumayan besar di kampungku. Setiap harinya dia bertugas mengecek sound system, menyapu lantai, membersihkan tempat wudhu, dan mengatur sandal para jema’ah. Dia hidup dari ucapan “terima kasih” para jama’ah. Malah saya pernah mencandainya, kebetulan dia memang orang yang dikenal humoris dan mudah bergaul.


“Wey, PNS betulanmi La Kato’je’, pake pakaian dinas terus ke masjid!”, dia tertawa menanggapi bercandaanku sambil meneruskan tugas menyapunya. Banyak warga yang memberinya baju, mungkin banyak baju dinas PNS, maka dia jadikan semacam seragam kerja saat bertugas.

Semoga orang-orang macam dia tak ditumbuhkan kekesalan akan hujat terhadap fisiknya. Seandainya saya yang dihidupkan Tuhan dengan jalan hidup seperti itu, mungkin saya akan lebih banyak putus asa. Tapi tidak dengan dirinya, dia tahu bahwa banyak orang yang tak bisa menerima kekurangannya. Maka dia mencari tempat-tempat yang bisa menerimanya, yah masjid! Diapun menampilkan dirinya sebaik mungkin, sesopan mungkin menghormati orang lain bahwa dia pun layak berarti buat orang banyak.


Maka, saya pun teringat seseorang. Banyak yang mengatakan bahwa dia, memang seorang lelaki dengan terbelakang mental. Kehidupannya hanya berkisar dari suatu hajatan ke hajatan yang lain. Orang di kampungku memanggilnya La Bandung. Saya tidak tahu mengapa dia dinamai demikian. Mukanyapun sering jadi bahan tertawaan karena dianggap idiot. Dengan pakaian lusuhnya yang seolah melecehkan sebuah pesta yang dikerumuni dengan baju-baju kerlap-kerlip dan makanan mewah, dia berkali-kali lalu lalang di tengah tamu untuk mengumpulkan piring-piring kotor, pekerjaan yang mungkin orang-orang gengsi untuk melakukannya. Jika saja tidak ada La Bandung, maka piring untuk menjamu tamu akan habis. Di sela-sela kewajibannya, sejenak dia menuju ke depan pengiring musik pesta tersebut. Dia akan bergoyang di depan panggung, dan orang-orang masih akan menertawakan ulahnya itu. Dia mungkin tak peduli, dia terus bergoyang mendengar musik karena begitulah caranya menikmati hidup.


Maka, malam ini saya telah menguliahi diri sendiri. Mereka berdua tak perlu dilabeli pahlawan, mereka tak perlu. Jikapun diberi, mereka tak tahu untuk menjadikannya suatu kebanggaan, pikiran mereka terlalu sederhana. Mereka tak perlu diundang ke acara semacam KICK ANDY untuk menyiarkan apa yang telah mereka perbuat untuk orang banyak. Tak perlu membayar mahal-mahal seminar ESQ di hotel mewah hanya untuk memikirkan : bukan apa yang telah kita terima semasa hidup, tapi apa yang telah kita berikan kepada orang lain, walau posisi kita seorang idiot sekalipun!


Satu hal, kita telah hilang kesederhanaan. Kita terlalu banyak mengejar, berlari menuju tujuan yang menawarkan kemewahan sehingga kita menghiraukan berbagai ragam keindahan yang banyak disisipkan di perjalanan. Rasa-rasanya banyak hal yang harus kita lewati namun kita telah melompatinya. Mungkin, kita telah lupa menjadi sederhana!


Salam KUPER, Luwwwaarrr biasa….!!! =P




*Roti otti : kue tradisional bugis terbuat dari tepung beras dan pisang, biasa juga disebut roti berre'

Sabtu, 19 Maret 2011

SURAT UNTUK DIRI SENDIRI

Sebuah hati, kau hanya berkenalan beberapa menit tapi sensasinya seperti telah tua bersama. Maka tak perlu lagi menghitung tahun, umur bukan lagi ukuran untuk tidak saling memahami, tak butuh pertanyaan untuk mendapatkan banyak jawaban antara kalian. Namun, kemana kau harus bercerita ketika hati yang punya banyak stok “memaklumi”mu itu tiba-tiba dibajak oleh hati yang lain, yang seharusnya adalah milikmu? Apakah karena saat kenalan telah melimpah jawaban sehingga sekarang yang tersisa hanya perkiraanmu tentangnya? Mendadak, kau merasa dia jauh lebih mudah dari ‘umur kalian’. Kau merasa menyayangkan, harus berkenalan ulang dengan dirinya yang ini, walau tak nyaman lagi untuk menjabat erat hatinya. (Yah, harus diakui, kita sebenarnya harus tabah berkenalan dengan banyak orang yang berdiam diri pada satu raga yang sama.)

Kemana kau harus mengungsi saat semua orang yang kau butuhkan dicuri oleh kesibukannya masing-masing? Mereka tak sempat mendatangkan wujudnya di depanmu sebagai bala bantuan, terkadang rindu itu meledak di mata, hujan-hujan yang membuat lorong-lorong ingatanmu tergenang-genang kenangan. Kenangan yang butuh diperbaharui dan diulang, namun kau hanya bisa merindu dan meyakinkan diri bahwa mereka senantiasa mendo’akanmu, bantuan terhebat bagi seorang yang banyak penghalang ruang dan waktu. ‘Sesuatu’ yang lebih hebat dari sekedar uluran tangan-tangan mereka akan datang: Kuasa Tangan Sang Maha Baik! Percayalah, mereka cuma mengucapkan “sampai jumpa” bukan “selamat tinggal”.

Jadi tak usah khawatir, mereka hanya sibuk, bukan melupakanmu. Tak selalu ingat, bukan berarti lupa kan? Jadi saya pun tak ingin kalah, “Maaf, saya sibuk merindukan kalian!”