Sabtu, 23 Januari 2010

Pada PUNG* ULENG


Bagaimana kabar 'anak-anak didikmu' di sawah? Kuharap jika musim 'lulus' tiba, saat mereka kompakan untuk merunduk, memohon untuk segera dipanen. Seperti bunyi pepatah yang pertamakali di perkenalkan kepada telingaku oleh suaramu, "Sepertilah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu seseorang maka dia akan semakin menghargai orang lain dan tak merasa diri hebat!"

Saat itu, saya betul-betul ingin seperti padi, pintar namun tak angkuh. Hal itu menjadi salah satu penyemangatku untuk terus belajar, terus memper'isi' otak agar bisa selalu menghargai orang lain.




Sekarang.., saya sedang duduk lemas, kecapean menunggu seseorang datang untuk didapatkan tanda tangannya. Hanya tanda tangan aslilah yang menjamin status kemahasiswaanku 6 bulan ke depan. Dalam hatiku aku menggerutu, orang berilmu kok menjadi jual mahal begitu. Untung-untung kalau dia hadir membuka dan menutup mata kuliah. Demennya di luar, sepertinya birahinya akan proyek tinggi daripada memenuhi kewajibannya mendidik kami. Jelas, karena yang pertama itu lebih menjanjikan materi baginya.

Maka kita bisa dengan mudah membedakan mereka, antara yang selalu pagi-pagi datang dengan motor bebek/vespa bahkan hanya mengandalkan pete-pete** dengan yang selalu mengulur waktu karena mobil mewah dengan supercepat akan membawanya lari ke tujuan, bahkan ada yang mengaku di depan kelas dia telat karena menonton gosip di televisi dulu. Saya sering dipermalukan oleh dosen-dosen sederhana itu, merekalah yang selalu datang lebih cepat daripada mahasiswanya. Sedangkan dosen-dosen 'mewah', cela-celaku padanya lebih kuingat daripada teori-teori yang mereka paparkan di depan kelas, termasuk 'kuda besi' mereka yang melampaui jatah area parkir membuat saya, salah satu pejalan kaki jengkel. Hampir kami tak punya tempat untuk melangkah...

Jadi ingat seorang guruku waktu SD, yang memutuskan untuk pensiun dini karena lebih memilih untuk mengembangkan bisnisnya. Beberapa kali jadwal mengajarnya terbengkalai hingga akhirnya keputusan berat itu harus dijalani. Akhirnya saya sadar, guru SDku ini jauh lebih bertanggungjawab daripada dosen yang bukan hanya membuatku harus mengantri dengan mahasiswa lain untuk bertemu dengannya saja, tapi juga dengan waktu.

Perbandingan antara yang hanya 'S.Pd.' dan yang sudah memborong S1, S2, bahkan S3. Guru Besar, titel mewah yang dia dapatkan ternyata tak menjamin profesionalismenya, lalu mengapa dia masih harus disapa dengan 'Prof.'?

Otakku berdemo. Bukankah kami (mahasiswa) yang menggaji mereka? Jadi, segera boikot upah mengajar dari SPP kami untuk dia. Alihkan kepada pengajar yang lebih berdedikasi, mereka pasti senang. "Ku 'drop-out' kau jadi dosen!"




Saya ingin kembali menjadi murid SD lagi, dan mendebatimu akan pepatah itu. "Pak Guru..., saya berubah pikiran. Saya tak mau seperti padi yang merunduk karena berisi lagi!"

Lebih baik jadi padi yang kosong, menari bergembira ria dengan angin karena saya tahu besok aku akan menjadi sampah organik yang terurai secara sehat dan alami. Tak ingin menjadi padi yang gemuk karena pupuk kimia, yang jika dikonsumsi sedikit-banyak akan merusak yang mengkonsumsinya.




NB : "Pak Guru..., akhirnya saya tahu. Pintar itu sebetulnya merupakan amanah agar kita bisa menunjukkan jalan bagi orang yang 'kurang' pintar. Bukan berfungsi sebagai sarana penyombongan terhadap mereka. Betul begitu kan, Pak?"








- M. Uleng T, BA adalah Kepala Sekolahku pas SD, beliau beberapa tahun lalu sudah pensiun, pekerjaannya sekarang adalah bertani, bahkan beliau sudah bertani sebelum berprofesi menjadi guru.
* Pung : Panggilan kepada yang lebih tua dalam Masyarakat Bugis
** Pete-pete : Angkot (Makassar)





Selasa, 12 Januari 2010

Khusus untuk LIBURAN Kali Ini!



Hari pertama sekolah, sudah menjadi kebiasaan jika kelas-kelas belum aktif. Sepertinya Pembina selalu memberi kesempatan seharian untuk kami membicarakan apa saja yang kami lakukan selama liburan. Ada yang bercerita bahwa mereka keluar kota/provinsi untuk mengunjungi nenek mereka. Wajah mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Ada juga yang sekedar berkunjung ke suatu tempat wisata, berlibur bersama keluarga masing-masing.

Sedangkan saya, tak banyak bicara. Nenekku bisa kukunjungi setiap saat karena memang kami serumah. Tak banyak waktu luang untuk berekreasi ditemani keluarga. Dalam kalender Bapakku tak ada sepekan untuk rehat sedikitpun, libur mengajarnya dipadati orderan foto dan undangan. Makku sibuk sana-sini menghadiri jamuan kerabat, biasalah orang Bugis. Jika menemukan sebuah rumah 'lumayan' ramainya, mungkin Anda memperkirakan bahwa di lokasi tersebut sedang ada hajatan. Pikiran Anda kurang tepat, bisa saja hari H-nya masih sepekan lagi, begitupun sepekan sesudahnya. Nah, kesempatan seperti ini sering dimanfaatkan Makku untuk berjualan pakaian. Wajarlah, salah satu hobinya berdagang. Kami baru akan berkumpul secara lengkap jika malam. Jadi jika libur, jadilah aku makhluk paling bosan di rumah karena menghabiskan liburan kebanyakan depan tivi. =)

Itu dulu, saat tempat belajarku masih disebut sekolah. Berbeda dengan sekarang, saya sudah mahasiswa. Kampus selalu membuka pintunya untuk kegiatan-kegiatan walau sebenarnya kegiatan akademik sedang lengang. Pun umur dewasa membuat izin orang tua sudah layak dikantongi untuk berkunjung kemanapun. Disaat-saat Makku sudah kompromi dengan usianya agar lebih banyak berdiam di rumah, malah giliranku yang selalu dilarikan jadwal-jadwalku. Barulah tahun ini, saat kuliah tinggal skripsi saja aku kebanyakan tinggal di rumah. Kubiarkan kampus di isi yang 'muda' *Hagegegegege, sadar juga!

Sekarang, jam satu siang. Hujan hanya memberi dua-tiga jam kepada matahari untuk bersinar cerah, selebihnya dingin. Kudengar berisik musik hujan, kulihat mereka menabrak kaca jendela kamar ini. Nenek dan Makku sedang mengurung diri mereka dalam selimut berbagi kehangatan. Rumahku sudah dua pekan dihidupi hanya kami bertiga. Kakakku berlibur ke rumah mertuanya ditemani suami dan bayinya. Sungguh! Aku tak pernah merasa sekhusyuk ini menonton hujan. Aku bertahan sampai hujan berhasil menitipkan dingin yang sempurna menjalari tubuhku. Kuputuskan menyusul mereka, "Tidur juga ah! Moga di alam mimpi lebih hangat...". Kedua kakiku kuselipkan masuk ke dalam selimut, sekarang tak ada lawan dalam selimut karena kita sedang satu musuh : dingin.

Antara mimpi dan kenyataan, samar-samar kurasakan ada sesuatu yang menyisir rambutku dengan lembut. Entahlah, saya pun tak yakin!

Zzz... zzz...
Sekitar satu jam kesadaranku berkelana. Ingin segera bangun namun badanku terkunci dengan 'nyaman' oleh tangan Mak yang memeluk pundakku dari belakang. Hangat! Maka tak bisa kutahan lagi untuk segera melanjutkan pengembaraan yang tadi sedikit terhenti. =)

Zzz... zzz... zzz...
Kukucek mataku, memastikan jam dinding yang menunjukkan pukul tiga itu apakah mimpi atau kenyataan. Kudapati diriku sendirian, Mak dan Nenekku ternyata sudah bangun duluan. Sambil menguap saya melangkah gontai memunculkan diri di depan mereka yang berbincang. Makku mengajakku bergabung dan menawariku segelas teh juga. "Besok, mereka insya Allah kembali karena lusa mereka sudah masuk kerja lagi!" begitu kata Makku. Kami duduk berhadapan di ruang keluarga sambil minum teh hangat sebagai pasangan dari pisang goreng yang masih panas-panasnya.



* * *


Sambil menghajar oleh-oleh yang dia bawa, Kakakku pamer kepadaku.

"Heh, rugi deh kamu gak ikut. Kalau kuceritakan kamu pasti iri sama aku!", angkuhnya kepadaku.

"Yakin?" Balasku.

"He? Mangnya kamu kemana? kata Mak kamu gak liburan kemana-mana!" Dia betul-betul heran melihat responku barusan. Kujawab saja dengan senyum, semoga semakin melengkapkan kepenasarannya atas ke'takkemana-mana'anku padahal aku terlihat senang-senang saja.

Aku memang tidak kemana-mana, karena aku liburan di pelukan Mak...