Rabu, 18 November 2009

Kepada 081359302xxx*



Tadi malam, iseng lagi menghubungi nomormu yang enggan untuk kuhapus. Kuhapus pun percuma, dia tetap akan cemerlang di pikiranku.

"~Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi..."

"Iyya, saya tahu kok! Yang punya nomor telah tak terjangkau operator manapun, sudah tiga bulan 'aktif' di alam lain!" Gerutuku.

Mengapa sih harus kepada perempuan itu kau titipkan nomormu. Aku cemburu! Mengapa bukan kepadaku, agar aku bisa bisa menjawab pertanyaan orang-orang yeng menelponmu dengan "Mau titip pesan? Pasti saya kirimkan pesan Anda lewat do'a!" Atau lebih baik kuminta mereka ikut berdo'a untukmu juga. Mengapa bukan kepadaku? =p Cwiiiiing!

Baik-baik ya kamu di sana! =)



*Walaupun agak kecewa, tapi kuhargai perempuan yang menjaga nomormu dengan meng'sekian-sekian'kan nomormu, biar saya saja seorang yang mengganggunya! Oke?






Kepada BAHARUDDIN ISKANDAR NUR*

Di depan, kau selalu berhasil membenihi pikiran-pikiran kami dengan tatapanmu. Selesainya jatah mengajarmu maka akan lahirlah umpatan 'dasar guru aneh!' atau 'huhh.. numpuk tugas lagi!' dari mulut-mulut kami.

Sesekali (namun jarang) kau mendekat ke meja kami memperhatikan cara menulis atau menilik sampul buku kami(?). Mungkin bagimu, ada keterwakilan jiwa kami pada selera kami, termasuk dalam pemilihan buku tulis. Sebagaimana kau pernah mencelotehi eRos(ni) dengan Tao Ming Tse, asesoris dan bukunya full F4, masih getol-getolnya Meteor Garden waktu itu. Tapi mungkin kau heran mengapa dia bisa akur semeja denganku, si penyuka buku polos dengan kukarikaturi sendiri, baik kover maupun isinya. Tak pelak, banyak kupanen protes dari guru lain karena catatanku banyak coretan tak pentingnya. Tapi kau salah satunya tak memprotesi hal itu. Hanya manggut-manggut saat kau membuka salah satunya. Terima kasih! Ternyata ada juga yang menghargai 'ketidakpentingan'. Pantas saja, karena akhirnya saya juga tahu, kau suka membuat tugas karanganku tidak penting bagimu, dicorat-coreti olehmu dengan banyak keterangan koreksi sana-sini, begitupun dengan karangan temanku. Mirip skripsi kakakku yang dicoreng-coreng oleh pembimbingnya!

Ya, tidak penting! Kantin selalu lebih penting dari Perpustakaan. Tapi kau lebih suka berdiam di sana sambil menikmati lukisan Tuhan, sawah hijau** terbingkai apik oleh jendela Perpustakaan. Tahun pertamaku di SMA itu, kau mencuri sebagian jatah berfikirku. Apakah kau sepertiku; lebih senang dikepung buku? Maka pada suatu istirahat, aku kaget luar biasa. Seorang pembina 'teraneh' di sekolah menghampiri. Ada apa gerangan?

"Mau jadi pegawai perpustakaan? Kulihat kau sering ke perpustakaan, kau boleh mengajak temanmu yang lain!" Pegawai perpustakaan? Waowww, tawaran yang keren!

Cap-cap negatif yang mampir di telingaku satu persatu tanggal seiring kami membantumu merenovasi Perpustakaan, menata ulang buku-buku dan membuatkannya nomor katalog yang rapi. Pemanis suasana dengan musik dari tape pinjaman sekolah pun menjadi daya tarik orang-orang mampir ke Perpustakaan. Pengunjungnya bertambah pesat dari hari ke hari. Saya tak kan lupa adegan bertengkarku dengan eRos(ni). Saking semangatnya, dari rumah dia membawa kaset-kaset boybandnya. Malah saya sering interupsi bunyinya dengan kaset yang kubawa, beberapa keping kaset Iwan Fals. Tahukah kau, sempat kutangkap senyumanmu melihat kelakuan kami. Heheheh!

Senang bisa lebih mengenalmu walau sebenarnya saya sudah dikenalkan kepadamu (walau hanya lewat cerita) oleh kakakku yang juga pernah jadi salah satu muridmu. Dia bercerita tentang pementasan pertama KOCISA***. Dia yang dipercaya menjadi pengiring musiknya dengan petikan gitarnya. Dia percaya bahwa sosokmu bakalan berkilau bagiku. Waktu itu saya masih SMP. Firasat kakakku tak meleset. Hahahah!

Di bekali rasa penasaran, hari-hari pertama berseragam abu-abu, aku nekat mendaftarkan diri saat kau menawarkan Keanggotan KOCISA untuk siswa baru. Sayalah pengacung tangan pertama itu, masih ingat? Hari latihan pertama, hampir seluruh 'daun-daun hijau' CISA datang tepat waktu. Kami dihantui teror-teror senior kami bahwa kau sangat menilai orang dari kedisiplinannya. Terlambat berarti gugur seleksi selamanya.

"Sudah hadir semuanya?" Tanyamu dengan mata khas, tatapan seolah men'scan' kejujuran kami.

"Ada dua orang lagi, Pak!" Jawab Pemimpin Latihan.
"Oke, hari ini saya bisa maklumi, tapi pertemuan selanjutnya jangan terlambat lagi. Beritahu teman kalian!"

Setelahnya, kami segera berlingkaran hitam, memulai latihan yaitu berdoa dan selanjutnya latihan pernafasan dengan teriak-teriak. Satu dua orang yang mengintip di jendela ruang latihan pasti mengira kami 'gila'. Hahahaha!





Belum lama, pintu terketuk dari luar. Dua orang temanku yang terlambat mengucapkan 'permisi' agar diizinkan bisa latihan. Maka kau menyuruhnya bersudut ruangan. "Berdo'alah dulu, baru bisa bergabung dengan teman-temanmu!".
Temankupun menurut, kami melanjutkan latihan sesuai dengan arahanmu. Barulah lima menit kemudian, interupsi temanku yang terlambat tadi membuyarkan konsentrasimu melatih kami.

"Pak, kami sudah selesai berdo'a!"

"Sudah bertemu dengan Tuhan?" Ha......! Tak mengarah kepadaku tapi pertanyaan itu seolah mengunci jiwaku saat itu juga...

Ya, jiwaku sering terkunci oleh pernyataan-pernyataanmu, yang akhirnya memberanikanku untuk lebih banyak bertanya lagi kepadamu. Salah satu pertanyaan 'sensitif' kuajukan kepadamu akan menjadi semacam ajang balas dendam telah mengunciku.

"Pak, mengapa memutuskan menjadi guru? Bapak kan suka menulis, mengapa tak jadi penulis saja?" Aku was-was, ada rasa menyesal terlalu nekat bertanya seperti itu kepadamu. Tapi dengan bijak kau menjawab...

"Dengan menjadi guru, saya berharap bisa memotivasi banyak orang untuk jadi penulis. Kalau saya jadi penulis, maka saya hanya berhasil menjadi penulis 'sendirian'. Saya ingin banyak orang mencintai dunia tulis-menulis." Sama sekali tak nampak ekspresi geram di wajahmu. Maka setelah selama ini merasa terkunci, sekarang malahan merasa telah 'plus' digemboki oleh jawaban itu.

Sebuah kunci akan sosokmu telah kusimpan erat. Kutemukan saat engkau membacakan ujung sebuah cerpen yang kau hadiahkan untuk kami. "Biarlah, aku akan jadi saksi bila Navis-Navis baru terlahir kembali!" Walau akhirnya, kau menyerah karena merasa tak menemukan Navismu di tempat itu. Kau memutuskan pindah, mungkin ke tempat yang menurutmu akan lahir Navis baru, kami pun tak tahu dimana. Banyak teman-temanku dihinggapi rasa bersalah sebab sering mengumpatimu, dan aku kecewa akan ketidaksabaranmu. Tapi terima kasih, telah mengajariku membiasakan melengkapkan namaku dengan nama almarhum Bapakku : Mangkulla. Tak pernah kuberitahukan kepadamu, tapi mengapa kau tahu kalau beliau yang terpenting di hidupku? Mungkin, Bapakku lebih berterimakasihnya kepadamu. Kau telah menjadi guruku, mengajariku untuk memberinya kesempatan untuk abadi di namaku.

Hem..., jika kau menemukan surat ini, kebahagiaan bagiku jika kau membalasnya! Saya tunggu...




nb :
* Seorang Guru Bahasa dan Sastra di SMAku. Dia sekaligus pelopor Club Sastra yang diberi nama KOCISA*** (Komunitas Pencinta Sastra). SMAku sebenarnya adalah 'mantan' sawah, jadi dibelakang sekolah kami adalah hamparan laut padi yang hijau**.






Jumat, 13 November 2009

Buat LELAKI PENDONGENGku


Tak ingin apa-apa darimu. Saya hanya merasa rindu kepadamu. Rindu tak selalu harus berujung pertemuan kan? Tenanglah, rindu ini tak akan berakhir karena darahku dan darahmu adalah kolaborasi dari dua manusia yang selalu yang sama. Mereka akan tetap mengalir memenuhi sungai-sungai nadi rindu di tubuh kita, saling memanggil satu sama lain. Kau rasa kan?



Hanya merasa rindu... karena kau berhasil membuatku jatuh ke cinta pada hujan dengan kisah yang kau buat sendiri. Kau telah menakutiku bahwa gigi gingsulku akan menjelmakanku drakula kelak. Kau juga musuhku dalam mencuri perhatian raja dan ratu di rumah, tapi sayalah yang selalu memenangkan predikat 'kelakuan baik' itu. Hahahahah! Hem... rindu dijitak dan menjitak dirimu! Rindu rebutan remote TV denganmu. Rindu diberisiki oleh suara gitarmu. Rindu perjanjian 'giliran bagi dua' jajan. Rindu... rindu... rindu teriakan Mak mendamaikan kita!

Tak lebih dari sekedar rindu dan merasa perlu menuliskannya. Hanya itu...









Rabu, 11 November 2009

Kepada Nd, Perempuan Senja


Baik, aku menjawab pertanyaanmu yang terlampir di sebuah pesan yang mampir di hpku. "Ya, kau penting!". Kau yang paling penting bagiku saat ini! Saya mengandaikan Facebook atau jejaring sosial lainnya yang selalu mempertanyakan apa yang kita pikirkan. Seperti itulah bagiku, meski kau tidak bertanya seperti itu tapi saya merasa perlu untuk mengupdate 'status'ku padamu. Puas?

Heheheh.. Terima kasih telah berusaha mendalamiku walau sudah ada lampu kuning dari dua teman tentang pertemanan kita. Saya sudah terlatih menjadi 'jiwa tersangka' jadi jangan khawatir! Saya tak akan membela diri, saya meyakini bahwa saya memang patut dihati-hatikan (mungkin, saya dipandang kurang 'hati' sampai-sampai kata 'hati' harus diulang jika mengarah ke saya!). Bukankah dulu kuperingatkan, saat pertama kali kita bertukar kisah. "Jangan terlalu percaya padaku!". Mengapa hanya pada awal? Yah, karena jika sudah terlanjur, 'hati' itu sudah jadi bubur, seperti yang kau alami sekarang kan? Jadi nikmati saja!

Alien itu sebenarnya banyak ragam, beda 'bahasa' tapi semengerti. Dan saya tahu, kau bukan bagian dari kami tapi kau sendiri yang telah menjerumuskan dirimu ke tengah-tengah dunia kami yang tak biasa. Saya beruntung! Sedikit orang-orang sepertimu, saya dapat satu dari 'sedikit' itu. Kebanyakan orang menganggap 'konyol' kemauan-kemauan kami, bahkan ada yang memutuskan untuk lebih baik diam jika diam itu bisa lebih membahagiakan sekitarnya dengan cara meniadakan dirinya, menjadi tak eksis walau wujudnya ada. Jadi saat ada kesempatan untuk eksis, yaitu ke dirimu, mengapa harus kuabaikan? Jadi percayalah, kau penting!

Oh ya, katamu si N0l itu alien juga. Saya rasa tidak, lebih tepatnya hanya 'menyeolahkan' dirinya alien. Istilah lainnya 'sok alien'. Keluarganya mendukungnya, dia juga lihai mengeksploitasi kebaikan teman-temannya. Lingkungan memberikannya kesempatan untuk populer, jadi dia tak perlu merasa terpenjara untuk mengungkapkan yang diinginkannya. Gagasannya tidak jarang berhasil sampai ke sasaran masing-masing. Terang saja demikian, dia diberi kecerdasan yang bisa dikategorikan brilian. Pikiran orang-orang yang mendengarkannya berbicara dibuatnya mencengang saat dia sesekali memanfaatkan istilah-istilah ilmiah nan intelek, yang tak terumus oleh otak berpengalaman dangkal. Begitulah wajah-wajah yang kutangkap saat diskusi-diskusi mempopulerkan namanya. Kalau tidak, mana mungkin kau rela menitipkan sebagian hatimu ke ujung sepatunya agar bisa terus berdetak, melangkah menemuimu... Ya kan?

Astaga! Pikiran ini terlalu bersemangat sehingga surat terima kasih ini terlampau jauh bercerita. Bagaimana tidak, mengingatmu malah menyeretku membayangkannya juga! Memoriku tentangmu lebih banyak malah menjadi jatahnya. Baiklah, kita kembali ka jalur...

Seperti biasa, setelah ucapan terima kasih atas penghargaan yang telah diberi, maka seperti biasa, topik berikutnya adalah 'maaf'. Telah kubuat kau menangis dengan kisahku, telah kau sayat hatiku dengan dongeng hidupmu, maka mohon maaf 'batin' dan/dengan 'batin' atas segala tetes yang sudah turun dari mata...


Dari

-NY-






Untuk NONA SIPUT


Dalam sebuah tidur.

Maaf, aku mengganggu tidurmu dengan menyelinap ke dalam mimpimu. Ini balasan untukmu karena kau telah mengganggu kenyamanan pertemuan kita (kau 'Siput', 'Keong', dan saya 'Badak') tanpa kehadiranmu. Telefon genggammu juga sering tidur, mungkin juga kesadaranmu sering juga kau istirahatkan. Dasar tukang tidur!

Saya malah menyangka-nyangka, kau adalah reinkarnasi dari Putri Tidur. Yang lahir dengan 'kutukan' dari Tuhan, entah itu 'kutukan' baik sekaligus 'kutukan 'buruk', semua makhluk takdirnya demikian. Sampai suatu hari, jarum yang kau pakai merajut rasamu menyasar ke salah satu jarimu. Kau terlalu asik merajut, yang malah jadi cikal bakal jurang bagimu. Beberapa kali mantra "Jangan terlalu dalam menggali rasa karena niscaya lubang itu ternyata untuk mengubur dirimu sendiri nantinya!" dibacakan kepadamu, tapi tak ampuh-ampuh juga. Beginilah akibatnya!

Siput seperti berkata sesuatu, tetapi dia sama sekali tak bersuara

Hahaha, ini hanya mimpimu Siput! Aku yang berkuasa di sini, kau tak bisa mencela-cela cara tertawaku seperti pada makan coto bersama kita beberapa kali. Ayoo bangun! Perjuangkan cita-citamu. Kau bodoh jika menunggu sang pangeran yang membangunkanmu dengan ciumannya. Apa yang kau bisa lakukan dengan 'hanya' tidur?

Saya tahu... Saya tahu... Tidur bagimu lebih nyaman daripada menghadapi kenyataan. Ayolah! Jangan bangun saat matahari sedang mengakak panas menyengatmu. Sambutlah matahari sehingga dia tersenyum hangat padamu di awal pagi karena telah merasa berharga telah ditunggu olehmu. Sinar ajaibnya akan segera tiba setelah bayangan dirimu dengan senyum paling indah terbingkai jendela kamarmu sampai ke matanya. Sinar ajaib itu, semoga bisa menyembuhkanmu! Ayolah bangun...

Saya sangat mengerti, kamu merasa keadaan selalu melenceng dari harapmu. Orang-orang disekitarmu keliru membahagiakanmu. Ayo... bangunlah! Sekitarmu memang tak memahami cara membahagiakanmu, maka bahagiakanlah dirimu sendiri!



*Puuut, jika bertemu dengan rencana rajutan 'cinta'mu yang baru, jangan kaurajut dengan tergesa ya, jangan terlalu semangat. Nanti jarimu tertusuk lagi dan kau memilih untuk lebih baik tidur lagi. Awas ya!