Selasa, 21 April 2015

BIRDMAN (2014)*

*Film ini baru tayang di makassar sejak dua atau tiga hari yang lalu.

Riggan : You risk nothing! Nothing! Nothing! Nothing! I'm a fucking actor! This play cost me everything... So I tell you what, you take this fucked malicious cowardly shitty written review and you shove that right the fuck up your wrinkly tight ass. 

Tabitha : You're no actor, you're a celebrity. Let's be clear on that. I'm gonna kill your play.




Saya selalu percaya, bekerja di teater dengan penonton yang menyaksikan langsung di depan mata lebih sulit ketimbang menjadi pemain dan kru film. Di dunia cinema, kita bisa memotong adegan yang tak diperlukan atau mengulang kembali adegan yang dirasa salah atau kurang greget, ini yang tak dapat dilakukan di atas panggung, tak ada cut dan pengulangan.

Riggan adalah aktor senior yang selalu gelisah akan karirnya, masih bisakah dia mempertahankan kepopulerannya sebagai penggiat seni peran.  Dia mencoba melepaskan karakter Birdman dari dirinya, karakter yang melambungkan namanya di dunia perfilman. Hari demi hari berjalan mendekati hari H, kecemasannya semakin menjadi-jadi, khawatir akan penampilannya tidak akan memuaskan penonton.

Film ini menyuguhkan gaya bercerita baru, disertai dialog-dialog keren tak lupa pula gambar-gambar yang dihadapkan ke penonton film  seolah-olah bukan tangkapan kamera, tapi seperti halnya pergerakan alami bola mata manusia memandang. Kita sering kali ditempatkan seperti sosok yang berjalan di belakang aktor yang berjalan di lorong sempit menuju ruang-ruang ganti para aktor.

Putrinya yang terjerat narkoba, perceraian yang sepertinya dia baru dia sesalkan, aktor pendatang baru yang punya kemungkinan untuk menggeser nama besarnya, belum lagi beban akan penampilannya serta perlawanan dari suara-suara yang berasal dari dirinya sendiri, acungan jempol buat instrumen drum yang mengiring hampir sepanjang film yang berhasil menambah semrawut suasana cerita.

Sabtu, 11 April 2015

Fast and Furious vs Melancholy is A Movement

Pekan lalu tertarik nonton film Melancholy is A Movement, antrian panjang banget. Yang ngantri justru beli tiket Film Fast and Furious 7. Gila bener ini film, sudah sampe sequel ke tujuh, bahkan ada temen yang berharap ada episod ke 8 nya? Seriusan? Tanpa Paul Walkel? Sepertinya sudah tiba masanya, orang-orang sinema Indonesia menunjukkan taringnya. Hollywood butuh penulis-penulis naskah punjabi punya, yang ahli bikin skenario ajaib, dikira mati, amnesia, ganti muka, siapa tahu Fast and Furious punya nasib baik kayak Tersanjung dan Cinta Fitri.

Dan benar saja, pas masuk, hanya saya sendirian yang nonton. Wanita yang tugas jaga di studio, yang duduk di bawah berkali-kali mandang heran ke arah saya yang duduk (posisi favorit) paling atas. Saya juga bingung, film besutan Richard Oh ini tentang apa yah, absurd gitu. Tapi saya suka bagian ketika Joko Anwar kencing di pohon, dan ada satu lagi... Film religi yang dibikin dalam film tersebut hampir mirip dengan apa yang selama ini saya selalu pikirkan tentang surga. Saya pernah berdiskusi seperti ini dengan kakak saya.

Kakak : Jangan malas ibadah, kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan.
Saya : Supaya apa?
Kakak : Yah, supaya bisa masuk surga.
Saya : Iyalah, siapa sih yang gak mau masuk surga. Siapa juga mau dijebloskan ke neraka
Kakak : Nah tuh kan, sudah tahu... Kalau perlu bisa sampe ke surga tingkat paling atas, tingkat tujuh, ketemu Nabi Muhammad saw.
Saya : Saya mungkin gak sampe mau ke situ juga.
Kakak : Loh, kenapa?
Saya : Di sana terlalu enak, saya mungkin tidak bisa, membosankan. Saya mungkin surga yang paling bawah saja, mungkin yang di sana kenikmatannya yang sederhana-sederhana saja...

Kelihatan kalau kakak saya kebingungan mau bantah saya. Tapi sudahlah, mungkin itu hanya pemikiran manusia saya, Allah sudah rancang semua itu, di luar kemampuan berfikir manusia biasa.