Senin, 28 Juni 2010

Untuk MAK

Mak, tahukah kalau saya pernah dicap durhaka oleh seorang teman? Dia bertanya padaku, "Nay, kamu lebih suka Mamamu atau Bapakmu?", maka tanpa ragu saya jawab "Bapakku!". Maka dia membalasaku dengan hadist yang mendahulukan Ibu tiga kali daripada Ayah. Jiwa mudaku berkata bahwa Ibu yang baik sebenarnya takkan pernah menggelari anaknya durahaka. Pun melakukan kebalikan dari hadist itu belum pasti durhaka.

Mungkin bagimu ketika kecilku, sayalah perempuan aneh yang disisipkan di keluarga ini. Lebih banyak berbicara dengan buku-buku daripada denganmu atau kakak perempuanku. Lebih suka diam daripada harus ramah sopan santun jika ada tamu. Keinginan kita jarang termengertikan satu sama lain. Gambar-gambar lucuku yang kupajang di dinding meja belajarku sebelum ke sekolah kutemukan menjelma abu telah kau bakar karena bagimu itu sampah. Sampai saat sekarang pun saya masih merasa, kau dan Ibumu (yang juga Nenekku) masih suka membanding-bandingkanku dengan sepupu perempuanku. Aku terkadang memaki Tuhan, mengapa bukan mereka yang teralamatkan ke rahimmu, mengapa harus aku yang tersesat di situ? Kau sering membelikan baju yang sering tak kupakai, kau memang sedih. Maaf, aku bukan diriku saat mamakai baju-baju itu, sebagaimana aku tak bisa angkuh berjalan jika yang jadi alas kakiku bukan sandal jepit. Dan sekarang, kau menambal baju-baju usangmu untuk dipakai keseharian. Aku hanya bisa pura-pura baik-baik saja melihatnya agar kau tetap tegar, sabar sebagaimana yang kukenal. Betapa aku membenci kau membelikanku baju-baju cantik sedang kau sendiri masih berakraban dengan daster usang. Betapa kau mengajarkanku kesederhanaan lalu tiba-tiba kau memaksaku bermewah... Aku benci keibuanmu!

Mak, aku tak ingin apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan terimakasih atas kesabaranmu menjadi ibuku. Jika pernah bibirmu bungkam oleh candaan seorang tetangga kita yang beristri, yang mengolok-olok status jandamu, jangan pedulikan itu. Dia hanya tak tahu bagaimana beratnya di posisimu, tak terbayangkankah jika nasib serupa akan terjadi pada istrinya atau keluarga perempuannya kelak? Sesungguhnya kemuliaanmu tak berkurang karena itu. Kau mulia karena kau telah jadi Ibu, sebuah tugas suci yang saya pun tak tahu apakah akan sampai ke sana.

Semoga kau tak akan menemukan catatan ini melalui tanganku langsung. Betapa hubunganku denganmu begitu teramat romantisnya, melebihi romantisnya hubunganku dengan lawan jenis yang begitu saya merasa suka dan saya yakin cinta maka dengan mudah saya akan katakan. Tapi tidak denganmu, betapa kau istimewa. Betapa kesulitan mengatakan hal ini yang akan memperindahnya. Seandainya layak, pikiran konyolku malah selalu berharap diam-diam "Mak, jadikan aku suamimu, walau suami bagi jiwamu!". Sebuah harapan yang hanya akan usang karena saya sadar suami bagi jiwamu hanyalah jiwa Bapakku seorang... =)







Minggu, 27 Juni 2010

Untuk Sang PLAYBOY KALEM

Berikut saya bagikan nomor, pada sebuah perlombaan...


Perempuan Satu
Dia meninggalkan tanah kelahirannya, dia butuh pulang, pulang ke hatimu. Namun kau enggan mendandani hatimu sebagai rumahnya sampai sekarang. Rela-rela mendaftar di kampus yang sama denganmu, katanya hanya untuk melihatmu dari jauh. Dia telah datang padamu, di hadapanmu namun kau mengabaikannya. Kau, dulu telah mencumbuinya dengan kata-kata mesra dari jauh. Tapi sekarang saat dia telah hadir di depanmu, kamu sengaja sibuk dengan yang lain, dengan hapemu, dengan laptopmu dan sejumlah kesengajaan yang tiba-tiba harus dipaksakan ada. Dan perempuan itu kembali membenci lelaki untuk kedua kalinya karenamu, walau dia mengaku bodoh sebab masih mencintaimu...


Perempuan Dua
Kau menolaknya dengan mengatakan kau hanya menganggapnya adik. Tapi penolakanmu itu tak berhasil membunuh perasaannya karena kau tetap 'mesra' dengannya, seolah itu air bagi tumbuhan cintanya yang hampir mati. Piseng*, itu adalah sapaan khasmu untuknya. Memang spesial hanya untuknya karena tak ada orang lain lagi yang kau sapa Piseng selain dia. Betapa wajarnya perasaan itu masih ada dan betapa kejamnya kau yang hanya bisa bertanya "Mengapa?", ingin kujitak kepalamu...
Mulai rambut hampir menjelma sapu ijuk dia potretkan dirinya untukmu, sampai dia mengenakan kerudung lucu. Foto-foto itu semua untukmu. Alisnya diangkat agar matanya lebih lebar agar mata pada foto itu bisa lebih bercerita kepadamu. Betapa buta adalah matamu... Saya malah eneg melihat foto-foto itu, pesan-pesan cintanya yang 'cute' terlalu overdosis bagi ukuranku, sekali lagi, buta telah kau jadikan matamu...



Perempuan Tiga
Seorang perempuan dari kecil memperhatikanmu, seseorang yang menyukaimu karena lebih banyak bicara dengan senyum daripada dengan kata. Perempuan yang sebenarnya membencimu mengapa kamu yang selalu jadi juara kelas dari SD sampai SMP. Dia terus mengingatmu walau SMA dan bangku kuliah memisahkan. Dan tahun ini, Tuhan menentukan kalian bertemu lagi. Dia ditakdirklan sakit hati karena dia kemudian menjadi tempat curhat beberapa perempuan yang juga punya rasa serupa kepadamu. Terbongkar topengmu saat dia mendengar kepedihan mereka mempertahankan untuk memilihmu. Betapa kau berubah, kepopuleran ternyata membuatmu angkuh, beranggapan bisa merengkuh semua dalam pelukanmu. Jika kau mungkin merasa butuh dikasihani karena mengaku stres dan bingung akibat telah membenihi banyak hati dengan harapan untuk dicintaimu, kamu salah! Hatinya berbalik untuk kasihan pada perempuan-perempuan itu.

... dan sejumlah nomor-nomor berikutnya!



Perempuan tanpa nomor

Saya tiba-tiba sok pakar sosiologis nyerempet psikologis, bahwa playboy sekarang senjatanya telah berbeda. Bukan lagi mengumbar gombal sana-sini dan membuat komitmen dengan banyak perempuan, tapi cukup dengan sedikit mesra walau tanpa komitmen karena akhirnya kau bisa berlindung di balik kalimat "hanya adik!". Mereka telah tersesat pada rasa yang mereka ciptakan sendiri karenamu namun kau tak kunjung memberi mereka jalan pulangnya masing-masing, kau kewalahan. Maka bagimu lebih baik meneruskan penggantungan-penggantungan rasa mereka. Kuberitahukan padamu, sungguh, menggantung seseorang lebih kejam daripada menolaknya. Jika kau masih pura-pura tak paham, saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan tak 'pura-pura' menghukummu kelak!
Dan saya hanya tiba pada kesimpulan...
KAU ITU, 'PURA-PURA IDIOT' ATAU 'SOK JENIUS'?



* : Piseng dari kata Sappiseng, yang artinya sepupu (Bugis)