Sabtu, 23 Januari 2016

Tak Ada Foto Kita Berdua

Tak ada gambar kita bersama, ini menyedihkan melihat bahwa sekarang semua hal tak ada yang luput dari mata digital. Sepertinya kita malas memanfaatkan kecanggihan zaman sekarang. Ada banyak fotomu, tapi tak ada saya di foto tersebut.

Yah, begitulah, sepertinya banyak yang akan kita lalui, secara tidak bersama.

Kamis, 07 Januari 2016

7 Januari 2016



Orang yang gak gaul banget ini, yang penasaran bagaimana rasanya karaokean, akhirnya terbayarkan sudah. Beberapa jam yang lalu, beberapa teman mengajak karaokean. Teman yang traktir dan lainnya kebanyakan memilih lagu dangdut kekinian (Ayu Ting-Ting, Cita-Citata, Siti Badriah dan seterusnya). Walau ada yang memilih lagu band-band 2010an, tapi hanya empat lagu, selebihnya lagu random.

Saya kenal lagu-lagu tersebut, sering diputar dimana-mana, di pete-pete (angkot), di TV, di pasar. Ada yang hafal karena keseringan dengar, atau nyantol di kepala karena easy-listening. Ingin deh memilih, satu lagu saja, tapi kuurungkan. Mungkin “High and Dry” bagus, tapi takut merusak suasana “hura-hura”, teman-teman sudah joget-joget masak saya nyanyi lagu Bahasa Inggris yang mereka mungkin tak pernah dengar dan “nikmati”.

Me”nikmati” musik, saya memberi tanda petik. Sebagai penikmat musik awam, saya telah menganggap musik adalah hal yang serius. Terkadang saya mendengar lagu tak melulu untuk senang-senang. Maka pengalaman pertama kali karaokean tadi, saya merasa memasuki zona musik yang payah. Bukan berarti saya memandang sebelah mata mereka yang hanya sekedar mengincar sisi senang-senang dari musik, itu cara mereka mengapresiasi musik.

Di perjalanan pulang, kepikiran untuk belajar main gitar, satu dari sekian keinginan-keinginan kecil yang belum terwujud, dari dulu, karena sebenarnya saya sedarah dengan dua lelaki jagoan gitar di kampung, Daus dan Udin. Sampai hari ini sepertinya mereka berdua tidak berminat sekaligus malas mengajari saya. Jadi mungkin wajarlah menurutku, ketika saya mendengar petikan gitar, saya bisa menilai, yang memetik gitar itu sudah mahir, amatiran atau sekedar jreeeeng-jreeeeng doang. Dua saudara saya, yang saya sebut tadi, sepertinya merekalah yang bertanggung jawab akan selera musik saya.

Kembali ke soal karaokean, mengapa saya kepikiran belajar main gitar? Karena saya merasa, tadi itu saya tidak menyanyi, tapi berteriak. Suara musiknya terlalu besar atau bagaimana yah, volume yang sepertinya bukan untuk dimasuki suara manusia, padahal itu musik rangkaian manusia/orang juga. Nggak tahu, saya juga bingung. Rasanya menyanyi akustikan lebih ngena, meski saya jarang suka musik akustikan yang dibikin (mulai) tahun 2000an, yang banyak bertebaran di internet. Kedengaran terlalu cemerlang, terlalu canggih, terlalu jernih. Coba dengar “The Great White Horse” oleh Mimi Farina dan Tom Jans. Waw, sepertinya sulit bikin rekaman suara gitar macam begitu lagi yah, kedengaran vintage gimanaaaa gitu.

Jadi kesimpulannya, karaokean itu murni hura-hura, senang-senang, hiburan semata, payah sekali. “Dasar kau itu, Nay! Sok selektif, belagu seolah pengamat musik, gengsian banget kalau bicara soal selera musik.”

Yah, mungkin saya bikin tulisan ini hanya karena iri, ternyata suara saya jelek. Mungkin pula saya besok-besok berubah pendapat, saya tak akan menolak jika diajak karaokean, yang gratisan yah pastinya.

Sabtu, 02 Januari 2016

Lukisan-Lukisan Afrizal Malna

Habis baca buku OKSIGEN JAWA, Biografi Visual Hanafi. Buku ini adalah 'pendamping' pameran lukisan Hanafi, dengan judul yang sama. Di dalamnya terdapat satu bab, semacam Kata Pengantar oleh Afrizal Malna, tapi justru kelihatan kalau tulisannyalah yang paling banyak memakan tempat di antara interpretasi kata-kata akan lukisan oleh Hanafi sendiri.

Baru nyadar mengapa Afrizal Malna menjadi salah satu penyair keren yang dimilik Indonesia, mengapa saya berkata demikian? Silakan googling sendiri puisi-puisi beliau. Di dalam satu bab di Oksigen Jawa ini, Afrizal Malna memaparkan bagaimana tepatnya zaman lukisan abstrak dan realis di Indonesia.

Maka, wajarlah jika selama ini, ketika membaca puisi-puisi beliau jadi merasa sedang melihat lukisan. Ada bantal, tiba-tiba ada demo buruh, tiba-tiba bicara jemuran dan seterusnya. Hanafi mengaku sebagai teman dekat dengan Afrizal Malna, saya percaya pelukis lebih ''terasing'' daripada penyair, saya pun yakin Afrizal Malna ''penyepi'' macam begitu.

Afrizal Malna, seorang pelukis, melalui kata-kata.

*apa sih ini, gak konsisten banget, padahal postingan ssebelumnya justru apatis ma puisi. piye :P