Kamis, 21 Oktober 2010

KOPI, ASAP ROKOK dan (jangan lupa meng)SMSKU!



Apa yang kau dapat dari menghidupi idealismemu? Kulitmu hitam legam berperang dengan matahari di jalan berteriak-teriak, diinapkan di kantor polisi pun sudah, kekayaan materi sepertinya masih jauh. Isap, isap terus dalam-dalam rokok itu. Pun kopi yang kau buat, lebih ke pahit daripada enak. Serupakah rasanya dengan hidupmu?
Baiklah, pergilah! Kau telah merelakan dirimu menjadi milik semua orang, bukan sekedar abangku lagi. Tapi, maaf! Saya merinduimu sekarang...

nb : Seperti biasa, kau jangan lupa mengganggu tidurku dengan pesanmu. Aku jauh, tapi percayalah! Telingaku ada berada di dekat hatimu... Berceritalah! Saya bukan cangkir yang bisa pecah, saya pun bukan asap rokok yang bisa ditelan gelap... Saya adikmu! =)









Senin, 28 Juni 2010

Untuk MAK

Mak, tahukah kalau saya pernah dicap durhaka oleh seorang teman? Dia bertanya padaku, "Nay, kamu lebih suka Mamamu atau Bapakmu?", maka tanpa ragu saya jawab "Bapakku!". Maka dia membalasaku dengan hadist yang mendahulukan Ibu tiga kali daripada Ayah. Jiwa mudaku berkata bahwa Ibu yang baik sebenarnya takkan pernah menggelari anaknya durahaka. Pun melakukan kebalikan dari hadist itu belum pasti durhaka.

Mungkin bagimu ketika kecilku, sayalah perempuan aneh yang disisipkan di keluarga ini. Lebih banyak berbicara dengan buku-buku daripada denganmu atau kakak perempuanku. Lebih suka diam daripada harus ramah sopan santun jika ada tamu. Keinginan kita jarang termengertikan satu sama lain. Gambar-gambar lucuku yang kupajang di dinding meja belajarku sebelum ke sekolah kutemukan menjelma abu telah kau bakar karena bagimu itu sampah. Sampai saat sekarang pun saya masih merasa, kau dan Ibumu (yang juga Nenekku) masih suka membanding-bandingkanku dengan sepupu perempuanku. Aku terkadang memaki Tuhan, mengapa bukan mereka yang teralamatkan ke rahimmu, mengapa harus aku yang tersesat di situ? Kau sering membelikan baju yang sering tak kupakai, kau memang sedih. Maaf, aku bukan diriku saat mamakai baju-baju itu, sebagaimana aku tak bisa angkuh berjalan jika yang jadi alas kakiku bukan sandal jepit. Dan sekarang, kau menambal baju-baju usangmu untuk dipakai keseharian. Aku hanya bisa pura-pura baik-baik saja melihatnya agar kau tetap tegar, sabar sebagaimana yang kukenal. Betapa aku membenci kau membelikanku baju-baju cantik sedang kau sendiri masih berakraban dengan daster usang. Betapa kau mengajarkanku kesederhanaan lalu tiba-tiba kau memaksaku bermewah... Aku benci keibuanmu!

Mak, aku tak ingin apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan terimakasih atas kesabaranmu menjadi ibuku. Jika pernah bibirmu bungkam oleh candaan seorang tetangga kita yang beristri, yang mengolok-olok status jandamu, jangan pedulikan itu. Dia hanya tak tahu bagaimana beratnya di posisimu, tak terbayangkankah jika nasib serupa akan terjadi pada istrinya atau keluarga perempuannya kelak? Sesungguhnya kemuliaanmu tak berkurang karena itu. Kau mulia karena kau telah jadi Ibu, sebuah tugas suci yang saya pun tak tahu apakah akan sampai ke sana.

Semoga kau tak akan menemukan catatan ini melalui tanganku langsung. Betapa hubunganku denganmu begitu teramat romantisnya, melebihi romantisnya hubunganku dengan lawan jenis yang begitu saya merasa suka dan saya yakin cinta maka dengan mudah saya akan katakan. Tapi tidak denganmu, betapa kau istimewa. Betapa kesulitan mengatakan hal ini yang akan memperindahnya. Seandainya layak, pikiran konyolku malah selalu berharap diam-diam "Mak, jadikan aku suamimu, walau suami bagi jiwamu!". Sebuah harapan yang hanya akan usang karena saya sadar suami bagi jiwamu hanyalah jiwa Bapakku seorang... =)







Minggu, 27 Juni 2010

Untuk Sang PLAYBOY KALEM

Berikut saya bagikan nomor, pada sebuah perlombaan...


Perempuan Satu
Dia meninggalkan tanah kelahirannya, dia butuh pulang, pulang ke hatimu. Namun kau enggan mendandani hatimu sebagai rumahnya sampai sekarang. Rela-rela mendaftar di kampus yang sama denganmu, katanya hanya untuk melihatmu dari jauh. Dia telah datang padamu, di hadapanmu namun kau mengabaikannya. Kau, dulu telah mencumbuinya dengan kata-kata mesra dari jauh. Tapi sekarang saat dia telah hadir di depanmu, kamu sengaja sibuk dengan yang lain, dengan hapemu, dengan laptopmu dan sejumlah kesengajaan yang tiba-tiba harus dipaksakan ada. Dan perempuan itu kembali membenci lelaki untuk kedua kalinya karenamu, walau dia mengaku bodoh sebab masih mencintaimu...


Perempuan Dua
Kau menolaknya dengan mengatakan kau hanya menganggapnya adik. Tapi penolakanmu itu tak berhasil membunuh perasaannya karena kau tetap 'mesra' dengannya, seolah itu air bagi tumbuhan cintanya yang hampir mati. Piseng*, itu adalah sapaan khasmu untuknya. Memang spesial hanya untuknya karena tak ada orang lain lagi yang kau sapa Piseng selain dia. Betapa wajarnya perasaan itu masih ada dan betapa kejamnya kau yang hanya bisa bertanya "Mengapa?", ingin kujitak kepalamu...
Mulai rambut hampir menjelma sapu ijuk dia potretkan dirinya untukmu, sampai dia mengenakan kerudung lucu. Foto-foto itu semua untukmu. Alisnya diangkat agar matanya lebih lebar agar mata pada foto itu bisa lebih bercerita kepadamu. Betapa buta adalah matamu... Saya malah eneg melihat foto-foto itu, pesan-pesan cintanya yang 'cute' terlalu overdosis bagi ukuranku, sekali lagi, buta telah kau jadikan matamu...



Perempuan Tiga
Seorang perempuan dari kecil memperhatikanmu, seseorang yang menyukaimu karena lebih banyak bicara dengan senyum daripada dengan kata. Perempuan yang sebenarnya membencimu mengapa kamu yang selalu jadi juara kelas dari SD sampai SMP. Dia terus mengingatmu walau SMA dan bangku kuliah memisahkan. Dan tahun ini, Tuhan menentukan kalian bertemu lagi. Dia ditakdirklan sakit hati karena dia kemudian menjadi tempat curhat beberapa perempuan yang juga punya rasa serupa kepadamu. Terbongkar topengmu saat dia mendengar kepedihan mereka mempertahankan untuk memilihmu. Betapa kau berubah, kepopuleran ternyata membuatmu angkuh, beranggapan bisa merengkuh semua dalam pelukanmu. Jika kau mungkin merasa butuh dikasihani karena mengaku stres dan bingung akibat telah membenihi banyak hati dengan harapan untuk dicintaimu, kamu salah! Hatinya berbalik untuk kasihan pada perempuan-perempuan itu.

... dan sejumlah nomor-nomor berikutnya!



Perempuan tanpa nomor

Saya tiba-tiba sok pakar sosiologis nyerempet psikologis, bahwa playboy sekarang senjatanya telah berbeda. Bukan lagi mengumbar gombal sana-sini dan membuat komitmen dengan banyak perempuan, tapi cukup dengan sedikit mesra walau tanpa komitmen karena akhirnya kau bisa berlindung di balik kalimat "hanya adik!". Mereka telah tersesat pada rasa yang mereka ciptakan sendiri karenamu namun kau tak kunjung memberi mereka jalan pulangnya masing-masing, kau kewalahan. Maka bagimu lebih baik meneruskan penggantungan-penggantungan rasa mereka. Kuberitahukan padamu, sungguh, menggantung seseorang lebih kejam daripada menolaknya. Jika kau masih pura-pura tak paham, saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan tak 'pura-pura' menghukummu kelak!
Dan saya hanya tiba pada kesimpulan...
KAU ITU, 'PURA-PURA IDIOT' ATAU 'SOK JENIUS'?



* : Piseng dari kata Sappiseng, yang artinya sepupu (Bugis)







Sabtu, 23 Januari 2010

Pada PUNG* ULENG


Bagaimana kabar 'anak-anak didikmu' di sawah? Kuharap jika musim 'lulus' tiba, saat mereka kompakan untuk merunduk, memohon untuk segera dipanen. Seperti bunyi pepatah yang pertamakali di perkenalkan kepada telingaku oleh suaramu, "Sepertilah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu seseorang maka dia akan semakin menghargai orang lain dan tak merasa diri hebat!"

Saat itu, saya betul-betul ingin seperti padi, pintar namun tak angkuh. Hal itu menjadi salah satu penyemangatku untuk terus belajar, terus memper'isi' otak agar bisa selalu menghargai orang lain.




Sekarang.., saya sedang duduk lemas, kecapean menunggu seseorang datang untuk didapatkan tanda tangannya. Hanya tanda tangan aslilah yang menjamin status kemahasiswaanku 6 bulan ke depan. Dalam hatiku aku menggerutu, orang berilmu kok menjadi jual mahal begitu. Untung-untung kalau dia hadir membuka dan menutup mata kuliah. Demennya di luar, sepertinya birahinya akan proyek tinggi daripada memenuhi kewajibannya mendidik kami. Jelas, karena yang pertama itu lebih menjanjikan materi baginya.

Maka kita bisa dengan mudah membedakan mereka, antara yang selalu pagi-pagi datang dengan motor bebek/vespa bahkan hanya mengandalkan pete-pete** dengan yang selalu mengulur waktu karena mobil mewah dengan supercepat akan membawanya lari ke tujuan, bahkan ada yang mengaku di depan kelas dia telat karena menonton gosip di televisi dulu. Saya sering dipermalukan oleh dosen-dosen sederhana itu, merekalah yang selalu datang lebih cepat daripada mahasiswanya. Sedangkan dosen-dosen 'mewah', cela-celaku padanya lebih kuingat daripada teori-teori yang mereka paparkan di depan kelas, termasuk 'kuda besi' mereka yang melampaui jatah area parkir membuat saya, salah satu pejalan kaki jengkel. Hampir kami tak punya tempat untuk melangkah...

Jadi ingat seorang guruku waktu SD, yang memutuskan untuk pensiun dini karena lebih memilih untuk mengembangkan bisnisnya. Beberapa kali jadwal mengajarnya terbengkalai hingga akhirnya keputusan berat itu harus dijalani. Akhirnya saya sadar, guru SDku ini jauh lebih bertanggungjawab daripada dosen yang bukan hanya membuatku harus mengantri dengan mahasiswa lain untuk bertemu dengannya saja, tapi juga dengan waktu.

Perbandingan antara yang hanya 'S.Pd.' dan yang sudah memborong S1, S2, bahkan S3. Guru Besar, titel mewah yang dia dapatkan ternyata tak menjamin profesionalismenya, lalu mengapa dia masih harus disapa dengan 'Prof.'?

Otakku berdemo. Bukankah kami (mahasiswa) yang menggaji mereka? Jadi, segera boikot upah mengajar dari SPP kami untuk dia. Alihkan kepada pengajar yang lebih berdedikasi, mereka pasti senang. "Ku 'drop-out' kau jadi dosen!"




Saya ingin kembali menjadi murid SD lagi, dan mendebatimu akan pepatah itu. "Pak Guru..., saya berubah pikiran. Saya tak mau seperti padi yang merunduk karena berisi lagi!"

Lebih baik jadi padi yang kosong, menari bergembira ria dengan angin karena saya tahu besok aku akan menjadi sampah organik yang terurai secara sehat dan alami. Tak ingin menjadi padi yang gemuk karena pupuk kimia, yang jika dikonsumsi sedikit-banyak akan merusak yang mengkonsumsinya.




NB : "Pak Guru..., akhirnya saya tahu. Pintar itu sebetulnya merupakan amanah agar kita bisa menunjukkan jalan bagi orang yang 'kurang' pintar. Bukan berfungsi sebagai sarana penyombongan terhadap mereka. Betul begitu kan, Pak?"








- M. Uleng T, BA adalah Kepala Sekolahku pas SD, beliau beberapa tahun lalu sudah pensiun, pekerjaannya sekarang adalah bertani, bahkan beliau sudah bertani sebelum berprofesi menjadi guru.
* Pung : Panggilan kepada yang lebih tua dalam Masyarakat Bugis
** Pete-pete : Angkot (Makassar)





Selasa, 12 Januari 2010

Khusus untuk LIBURAN Kali Ini!



Hari pertama sekolah, sudah menjadi kebiasaan jika kelas-kelas belum aktif. Sepertinya Pembina selalu memberi kesempatan seharian untuk kami membicarakan apa saja yang kami lakukan selama liburan. Ada yang bercerita bahwa mereka keluar kota/provinsi untuk mengunjungi nenek mereka. Wajah mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Ada juga yang sekedar berkunjung ke suatu tempat wisata, berlibur bersama keluarga masing-masing.

Sedangkan saya, tak banyak bicara. Nenekku bisa kukunjungi setiap saat karena memang kami serumah. Tak banyak waktu luang untuk berekreasi ditemani keluarga. Dalam kalender Bapakku tak ada sepekan untuk rehat sedikitpun, libur mengajarnya dipadati orderan foto dan undangan. Makku sibuk sana-sini menghadiri jamuan kerabat, biasalah orang Bugis. Jika menemukan sebuah rumah 'lumayan' ramainya, mungkin Anda memperkirakan bahwa di lokasi tersebut sedang ada hajatan. Pikiran Anda kurang tepat, bisa saja hari H-nya masih sepekan lagi, begitupun sepekan sesudahnya. Nah, kesempatan seperti ini sering dimanfaatkan Makku untuk berjualan pakaian. Wajarlah, salah satu hobinya berdagang. Kami baru akan berkumpul secara lengkap jika malam. Jadi jika libur, jadilah aku makhluk paling bosan di rumah karena menghabiskan liburan kebanyakan depan tivi. =)

Itu dulu, saat tempat belajarku masih disebut sekolah. Berbeda dengan sekarang, saya sudah mahasiswa. Kampus selalu membuka pintunya untuk kegiatan-kegiatan walau sebenarnya kegiatan akademik sedang lengang. Pun umur dewasa membuat izin orang tua sudah layak dikantongi untuk berkunjung kemanapun. Disaat-saat Makku sudah kompromi dengan usianya agar lebih banyak berdiam di rumah, malah giliranku yang selalu dilarikan jadwal-jadwalku. Barulah tahun ini, saat kuliah tinggal skripsi saja aku kebanyakan tinggal di rumah. Kubiarkan kampus di isi yang 'muda' *Hagegegegege, sadar juga!

Sekarang, jam satu siang. Hujan hanya memberi dua-tiga jam kepada matahari untuk bersinar cerah, selebihnya dingin. Kudengar berisik musik hujan, kulihat mereka menabrak kaca jendela kamar ini. Nenek dan Makku sedang mengurung diri mereka dalam selimut berbagi kehangatan. Rumahku sudah dua pekan dihidupi hanya kami bertiga. Kakakku berlibur ke rumah mertuanya ditemani suami dan bayinya. Sungguh! Aku tak pernah merasa sekhusyuk ini menonton hujan. Aku bertahan sampai hujan berhasil menitipkan dingin yang sempurna menjalari tubuhku. Kuputuskan menyusul mereka, "Tidur juga ah! Moga di alam mimpi lebih hangat...". Kedua kakiku kuselipkan masuk ke dalam selimut, sekarang tak ada lawan dalam selimut karena kita sedang satu musuh : dingin.

Antara mimpi dan kenyataan, samar-samar kurasakan ada sesuatu yang menyisir rambutku dengan lembut. Entahlah, saya pun tak yakin!

Zzz... zzz...
Sekitar satu jam kesadaranku berkelana. Ingin segera bangun namun badanku terkunci dengan 'nyaman' oleh tangan Mak yang memeluk pundakku dari belakang. Hangat! Maka tak bisa kutahan lagi untuk segera melanjutkan pengembaraan yang tadi sedikit terhenti. =)

Zzz... zzz... zzz...
Kukucek mataku, memastikan jam dinding yang menunjukkan pukul tiga itu apakah mimpi atau kenyataan. Kudapati diriku sendirian, Mak dan Nenekku ternyata sudah bangun duluan. Sambil menguap saya melangkah gontai memunculkan diri di depan mereka yang berbincang. Makku mengajakku bergabung dan menawariku segelas teh juga. "Besok, mereka insya Allah kembali karena lusa mereka sudah masuk kerja lagi!" begitu kata Makku. Kami duduk berhadapan di ruang keluarga sambil minum teh hangat sebagai pasangan dari pisang goreng yang masih panas-panasnya.



* * *


Sambil menghajar oleh-oleh yang dia bawa, Kakakku pamer kepadaku.

"Heh, rugi deh kamu gak ikut. Kalau kuceritakan kamu pasti iri sama aku!", angkuhnya kepadaku.

"Yakin?" Balasku.

"He? Mangnya kamu kemana? kata Mak kamu gak liburan kemana-mana!" Dia betul-betul heran melihat responku barusan. Kujawab saja dengan senyum, semoga semakin melengkapkan kepenasarannya atas ke'takkemana-mana'anku padahal aku terlihat senang-senang saja.

Aku memang tidak kemana-mana, karena aku liburan di pelukan Mak...