Kamis, 20 November 2008

LELAKIKAN...




LELAKIKAN TUA


Gerombolan hujan memadati ruang-ruang kosong hingga selutut. Genangannya mengundang bocah-bocah untuk berakraban dengan mereka. Di matamu, air-air kecil itu mempunyai tangan yang melambai-lambai ke arahmu seolah ingin berjabat tangan denganmu. Tiap hujan akan menambah lagi kenalan barumu. Mereka berhasil memukaumu dengan melakukan akrobat terjun, memecahkan diri mereka masing-masing di tanah hingga mereka menjadi banyak. Betapa kagumnya dirimu. Pandanganmu berlanjut dengan karnaval air. Lihat! Mereka berdesakan seperti lautan manusia yang sedang berjalan menari, ada yang memakai topi dan melambai-lambaikannya di udara.
Kau ajak aku menonton. Tak puas hanya di balik jendela maka kau menarik tanganku untuk langsung berkenalan dengan mereka sampai suara Mak melarang kita bermain terlalu lama dengan mereka. Dengan sedih, kau tak sengaja berjanji untuk membalas pertunjukan mereka esok-esok hari.
Tiap sampai pada kesempatan, kau memenuhi janjimu. Tidak..., jangan lagi kau menyeretku bersamamu. Biarkan saya jadi penonton pertunjukannya. Biarlah kau dan kawan-kawanmu yang melakoni. Saya duduk di sini akan bertepuk tangan terkesima dan melompat-lompat jika tiba waktunya.
Kalian melompat dari pematang, berakrobat di udara menjatuhkan diri ke sumber air yang menghidupi sawah. Pembalasan selalu tak pernah terpuaskan sampai dewi siang mengisyaratkan pulang. "Matahari saja pulang ke barat, kita juga harus pulang...", ajakku. Masih banyak hari esok...
"Mengapa kita harus pulang?" gerutumu kepadaku. Ikan selalu pulang ke air. Kau sendiri kan mengakui dirimu Lelakikan. Aquarium kita adalah orang yang melahirkan kita. Apakah kau tidak pernah diceritakan oleh Pak Guru IPA di kelas kalau sebenarnya kita tenggelam di dalam perut Mak? Kita menangis karena harus berpisah dari rahimnya yang penmuh akan air kasih sayang. "Makanya, kalau guru menjelaskan perhatikan dong!" Kau pun mengerti dan segera menjangkau pundakku selama perjalanan. Sampai kita disuguhi pemandangan : Mak melotot memandang kita bergantian. Matanya marah, ibu jari dan telunjuknya mengapit erat hidungnya. Kau tersenyum... "Kita akan 'berair' lagi... Hore...!" Tak heran jika kau paling lama di kamar mandi.


LELAKIKAN MUDA

Lelakikan Tua sudah sibuk dengan dunia selain air. Tapi saya melihatnya bereinkarnasi pada dirimu yang suatu hari kutemani pulang dari Taman Kanak-Kanak tempatmu bernyanyi-nyannyi. Kau merengek agar di dampingi memilih ikan yang sedang berenang di dalam kurungan plastiknya. Bergelantungan beberapa buah yang hanya untuk dilihat, bukan untuk dimakan.
Betapa laparnya matamu melihat mereka menari dalam air. Matamu mirip dengan Lelakikan Tua yang melihat dengan takjub, karena sepertinya roh Lelakikan telah benar-benar mengungsi ke dalam dirimu. Kau merengek lagi, mengancam agar segera diceritakan tentang Lelakikan Tua.
Kakek selalu marah saat tahu
bempa* tempat air mandinya selalu dia penuhi dengan ikan-ikan kecil tangkapannya di selokan. Kakek lebih geram lagi karena tahu Lelakikan Tua salah kaprah, kecebong dikiranya anak ikan. Saya tak bisa menyembunyikan senyum mengenangnya...
Dia mirip sekali denganmu, Lelakikan Muda. Dia selalu kerasukan roh aneh jika hujan bertamu dan berakibat banjir di depan rumah. Kau selalu bilang " Kak..., aku ingin berenang di sana!". Saya sebenarnya tak ingin melarangmu, tapi Mak yang akan memarahimu.
"Kak, mengapa hanya ikan yang bisa hidup dalam air?"
"Nanti kau juga akan mengerti, kalau sebenarnya kita adalah ikan sebelum menangis untuk pertama kalinya untuk Mak...". Wajahmu bertanda tanya sepuluh selesai mendengarkan penjelasanku. Perkataanku ternyata belum harus tercerna oleh penerjemah yang hidup di otakmu.
"Dek, jangan heran. Saya suka hujan, Abang juga suka air seperti dirimu. Kau pernah melihat anak bayi yang dimandikan kan? Kau lihat mereka kan? Seolah ingin melompat-lompat di tengah air...".
Tapi kau sudah terlanjur mengacuhkan penjelasanku. Memang terlalu dewasa bagimu. Kau lebih asyik mengerti liukan indah ikan yang sedang kau pegang dalam kandang plastiknya. Aku mengerti matamu... Kau ingin menjadi seperti mereka, pencinta air.


*bempa : gentong air