Rabu, 18 November 2009

Kepada BAHARUDDIN ISKANDAR NUR*

Di depan, kau selalu berhasil membenihi pikiran-pikiran kami dengan tatapanmu. Selesainya jatah mengajarmu maka akan lahirlah umpatan 'dasar guru aneh!' atau 'huhh.. numpuk tugas lagi!' dari mulut-mulut kami.

Sesekali (namun jarang) kau mendekat ke meja kami memperhatikan cara menulis atau menilik sampul buku kami(?). Mungkin bagimu, ada keterwakilan jiwa kami pada selera kami, termasuk dalam pemilihan buku tulis. Sebagaimana kau pernah mencelotehi eRos(ni) dengan Tao Ming Tse, asesoris dan bukunya full F4, masih getol-getolnya Meteor Garden waktu itu. Tapi mungkin kau heran mengapa dia bisa akur semeja denganku, si penyuka buku polos dengan kukarikaturi sendiri, baik kover maupun isinya. Tak pelak, banyak kupanen protes dari guru lain karena catatanku banyak coretan tak pentingnya. Tapi kau salah satunya tak memprotesi hal itu. Hanya manggut-manggut saat kau membuka salah satunya. Terima kasih! Ternyata ada juga yang menghargai 'ketidakpentingan'. Pantas saja, karena akhirnya saya juga tahu, kau suka membuat tugas karanganku tidak penting bagimu, dicorat-coreti olehmu dengan banyak keterangan koreksi sana-sini, begitupun dengan karangan temanku. Mirip skripsi kakakku yang dicoreng-coreng oleh pembimbingnya!

Ya, tidak penting! Kantin selalu lebih penting dari Perpustakaan. Tapi kau lebih suka berdiam di sana sambil menikmati lukisan Tuhan, sawah hijau** terbingkai apik oleh jendela Perpustakaan. Tahun pertamaku di SMA itu, kau mencuri sebagian jatah berfikirku. Apakah kau sepertiku; lebih senang dikepung buku? Maka pada suatu istirahat, aku kaget luar biasa. Seorang pembina 'teraneh' di sekolah menghampiri. Ada apa gerangan?

"Mau jadi pegawai perpustakaan? Kulihat kau sering ke perpustakaan, kau boleh mengajak temanmu yang lain!" Pegawai perpustakaan? Waowww, tawaran yang keren!

Cap-cap negatif yang mampir di telingaku satu persatu tanggal seiring kami membantumu merenovasi Perpustakaan, menata ulang buku-buku dan membuatkannya nomor katalog yang rapi. Pemanis suasana dengan musik dari tape pinjaman sekolah pun menjadi daya tarik orang-orang mampir ke Perpustakaan. Pengunjungnya bertambah pesat dari hari ke hari. Saya tak kan lupa adegan bertengkarku dengan eRos(ni). Saking semangatnya, dari rumah dia membawa kaset-kaset boybandnya. Malah saya sering interupsi bunyinya dengan kaset yang kubawa, beberapa keping kaset Iwan Fals. Tahukah kau, sempat kutangkap senyumanmu melihat kelakuan kami. Heheheh!

Senang bisa lebih mengenalmu walau sebenarnya saya sudah dikenalkan kepadamu (walau hanya lewat cerita) oleh kakakku yang juga pernah jadi salah satu muridmu. Dia bercerita tentang pementasan pertama KOCISA***. Dia yang dipercaya menjadi pengiring musiknya dengan petikan gitarnya. Dia percaya bahwa sosokmu bakalan berkilau bagiku. Waktu itu saya masih SMP. Firasat kakakku tak meleset. Hahahah!

Di bekali rasa penasaran, hari-hari pertama berseragam abu-abu, aku nekat mendaftarkan diri saat kau menawarkan Keanggotan KOCISA untuk siswa baru. Sayalah pengacung tangan pertama itu, masih ingat? Hari latihan pertama, hampir seluruh 'daun-daun hijau' CISA datang tepat waktu. Kami dihantui teror-teror senior kami bahwa kau sangat menilai orang dari kedisiplinannya. Terlambat berarti gugur seleksi selamanya.

"Sudah hadir semuanya?" Tanyamu dengan mata khas, tatapan seolah men'scan' kejujuran kami.

"Ada dua orang lagi, Pak!" Jawab Pemimpin Latihan.
"Oke, hari ini saya bisa maklumi, tapi pertemuan selanjutnya jangan terlambat lagi. Beritahu teman kalian!"

Setelahnya, kami segera berlingkaran hitam, memulai latihan yaitu berdoa dan selanjutnya latihan pernafasan dengan teriak-teriak. Satu dua orang yang mengintip di jendela ruang latihan pasti mengira kami 'gila'. Hahahaha!





Belum lama, pintu terketuk dari luar. Dua orang temanku yang terlambat mengucapkan 'permisi' agar diizinkan bisa latihan. Maka kau menyuruhnya bersudut ruangan. "Berdo'alah dulu, baru bisa bergabung dengan teman-temanmu!".
Temankupun menurut, kami melanjutkan latihan sesuai dengan arahanmu. Barulah lima menit kemudian, interupsi temanku yang terlambat tadi membuyarkan konsentrasimu melatih kami.

"Pak, kami sudah selesai berdo'a!"

"Sudah bertemu dengan Tuhan?" Ha......! Tak mengarah kepadaku tapi pertanyaan itu seolah mengunci jiwaku saat itu juga...

Ya, jiwaku sering terkunci oleh pernyataan-pernyataanmu, yang akhirnya memberanikanku untuk lebih banyak bertanya lagi kepadamu. Salah satu pertanyaan 'sensitif' kuajukan kepadamu akan menjadi semacam ajang balas dendam telah mengunciku.

"Pak, mengapa memutuskan menjadi guru? Bapak kan suka menulis, mengapa tak jadi penulis saja?" Aku was-was, ada rasa menyesal terlalu nekat bertanya seperti itu kepadamu. Tapi dengan bijak kau menjawab...

"Dengan menjadi guru, saya berharap bisa memotivasi banyak orang untuk jadi penulis. Kalau saya jadi penulis, maka saya hanya berhasil menjadi penulis 'sendirian'. Saya ingin banyak orang mencintai dunia tulis-menulis." Sama sekali tak nampak ekspresi geram di wajahmu. Maka setelah selama ini merasa terkunci, sekarang malahan merasa telah 'plus' digemboki oleh jawaban itu.

Sebuah kunci akan sosokmu telah kusimpan erat. Kutemukan saat engkau membacakan ujung sebuah cerpen yang kau hadiahkan untuk kami. "Biarlah, aku akan jadi saksi bila Navis-Navis baru terlahir kembali!" Walau akhirnya, kau menyerah karena merasa tak menemukan Navismu di tempat itu. Kau memutuskan pindah, mungkin ke tempat yang menurutmu akan lahir Navis baru, kami pun tak tahu dimana. Banyak teman-temanku dihinggapi rasa bersalah sebab sering mengumpatimu, dan aku kecewa akan ketidaksabaranmu. Tapi terima kasih, telah mengajariku membiasakan melengkapkan namaku dengan nama almarhum Bapakku : Mangkulla. Tak pernah kuberitahukan kepadamu, tapi mengapa kau tahu kalau beliau yang terpenting di hidupku? Mungkin, Bapakku lebih berterimakasihnya kepadamu. Kau telah menjadi guruku, mengajariku untuk memberinya kesempatan untuk abadi di namaku.

Hem..., jika kau menemukan surat ini, kebahagiaan bagiku jika kau membalasnya! Saya tunggu...




nb :
* Seorang Guru Bahasa dan Sastra di SMAku. Dia sekaligus pelopor Club Sastra yang diberi nama KOCISA*** (Komunitas Pencinta Sastra). SMAku sebenarnya adalah 'mantan' sawah, jadi dibelakang sekolah kami adalah hamparan laut padi yang hijau**.