Selasa, 03 Januari 2012

RESO-iLUSI 2012



Sudah tiga hari berjalan 2012, semacam kebiasaan (macam apa) orang-orang pada umumnya membuat resolusi untuk diwujudkan. Ada uang kita yang terbuang percuma untuk menghiasi langit pada malam tutup tahun kemarin. Ini 2012, sebagaimana yang diprediksikan suku maya bahwa 2012 akan kiamat, bumi akan terkena banjir dahsyat, jadi sudahkah Anda membuat perahu? Daripada membuat perahu, saya hanya akan menangis saja, memohon dikutuk jadi ikan, bukan manusia lagi. Walau dengan membuat mataku menetaskan air mata tak akan membuat apa-apa, justru membuat diri ini makin bersalah. Saya tak akan minta maaf karena saya yakin akan membuat kesalahan lagi. Maaf, hanya pantas diucapkan bagi yang bisa melaksanakan komitmennya untuk tak mengulang kesalahannya.

Maaf, yah seperti yang selalu dilakukan oleh ‘generasi tua’ jika tak bisa melakukan hal-hal yang semestinya mereka lakukan. Dengan mudah, mereka akan  ‘cuci tangan’ dengan menyerahkan kesalahan itu kepada ‘generasi muda’ untuk dilaksanakannya kelak, dengan alas an supaya generasi berikutnya lebih baik lagi dari mereka. Cwih, betapa gampangnya mewariskan kesalahan, mereka hanya menyerahkan dan tak mau tahu kerusakan-kerusakan yang telah mereka perbuat. Dengan mudah jari telunjuk mereka menunjukkan apa-apa yang harus dilakukan padahal sebelumnya mereka tak pernah melakukan itu. Seperti anak sulung yang menasehati si bungsu untuk membahagiakan ibunya, dengan hal-hal yang tak bisa mereka capai. Jika mereka tak bisa, mengapa dosa-dosa itu harus beralih ke tangan kita? Yah sayalah generasi muda yang egois, mudah merasa bersalah tapi bisa tiba-tiba membunuhnya dengan menulis. Menulis bagi saya obat sekaligus racun. Saya bisa jadi apapun dengan menulis fiksi.

Berbagai ragam motivasi seseorang menulis, ada yang menganggap sedang mengemban misi besar membawa kebaikan lewat kata-katanya, ada yang ingin menguak kebenaran, tidak! Mungkin saya belum semulia itu, saya kaum muda yang picik, lebih doyan curhat daripada menyuarakan resah orang banyak. Dalam fiksi saya bisa membunuh orang-orang yang saya benci (termasuk diri saya sendiri) dan mengungkapkan cinta kepada orang-orang yang saya sayangi. Pernah seorang menasehati dan katanya, puisi itu tak ada artinya jika saya tak berusaha untuk membahagiakan orang tersebut. Jika memang orang yang saya singgung dalam puisi tak bisa memahaminya, paling tidak saya memahaminya. Puisi itu adalah keyakinanku sendiri bahwa saya mencintainya, saya tak punya apa-apa, saya hanya punya kata-kata. Saya tak ada bedanya dengan pejabat yang banyak mengumbar janji, tak ada aksi. Jadilah saya malah justru menyadari, saya menulis untuk percaya akan diri ini, saya menulis untuk diri sendiri, membuat perasaan saya nyata walau tak terasa oleh siapapun. Saya menulis untuk membuat rumah bagi semua apa yang ada di pikiran saya. Haha, jadi terdengar lucu. Kuliah telah membuat pikiran ini terkekang, justru bagi saya fiksilah yang memerdekakan pikiran saya, mungkin otak saya tak cocok untuk kuliah.

Kuliah yang telah membelenggu lebih dari tujuh tahun, setahun berhadapan dengan dosen yang satu itu dan saya tak membaca dia menampakkan muka ingin membantu walau mulutnya berkata lain. Yah telah lama bahasa berfungsi untuk ‘tidak’ mengungkapkan yang sebenarnya ingin diungkapkan, justru untuk menyembunyikan. Oh Tuhan, jika kemudian hari saya jadi seperti orang ini saya ingin jadi bodoh saja (baca : tidak berpendidikan). Saya jenuh, menu insomnia saya bertambah dengan wajahnya. Saya jadi lebih mudah menangis karenanya, itulah selemah-lemahnya perlawananku karena saya pantang ‘tidak menghormati’ orang yang lebih tua. Karena ‘hormat’ inilah juga, saya menerima kutukan ini, harus segera memegang ijazah sarjana yang bagi saya membuat diri saya malah jadi budak bagi ilmu (lebih tepatnya ‘sekolah’). Banyak orang berpendidikan tinggi bukan untuk meluaskan pikirannya, memberi kesempatan untuk orang lain untuk menjadi bagian darinya, tapi tidak. Sekolah telah jadi kemewahan tersendiri, membuat diri bisa merasa eksklusif, sulit terjangkau oleh siapapun. Saya jenuh! Orang-orang yang dulu, tempatku mengungsi dari semua hujatan dan cercaan, kini pun di dalamnya telah dihinggapi para penyihir memantrai diri ini paling tersangka di dunia jika tidak segera menyelesaikan tugas besar ini.

Huhhh, tak ada rumah Bob. Terima kasih untuk Bob Dylan dan The Beatles yang tak lelah-lelah kusuruh bernyanyi via winamp di laptopku. Sungguh, sepertinya tandatangan kalian jauh lebih berharga untuk kukejar daripada tandatangan orang-orang glamor akan sekolah itu. Suara kalian, tempat mengungsi paling nyaman sekarang ini. Kita sama, tak ada rumah, mari kita jadi rumah satu sama lain, mari kita menghibur satu sama lain. Zaman 2000an telah terlalu banyak menyakiti saya, tapi sejak mengenal kalian yang justru lahir dari zaman 1960an membuat saya pelan-pelan menyenangi hidup.

Sebuah wajah lelah Bob Dylan pernah berkata “I just want to go home, you know what home is?”, ah separah itukah sampai dia lupa bagaimana rasanya punya rumah, bagaimana nyamannya suatu tempat sampai kita menamakannya “rumahku”, tempat rehat saat lelah menguasai tubuh dan pikiran? Tak ada rumah lagi, Bob. Waktunya membakar kuncinya!


Wahai Ibu AB, semoga bulan depan kita bertemu sebagai sesama manusia biasa, haha! Semoga bukan ilusiku semata. Betapa jelatanya otak kita jika hanya memamerkan pendidikan itu saja!

*tak bosan-bosan mendengar 'LIKE A ROLLING STONE'