Sabtu, 17 Februari 2018

Surat Ketiga

Halo kak, ini malam minggu, mungkin lagi ngedate yah... hahaha  <<< ketawa palsu.
Tadi saya nonton kak, Black Panther. Saya beli satu tiket saja, untuk saya seorang. Saya sebenarnya sudah ajakki’, tapi saya kasihan kalau selalu harus ganggu isirahatta. Kerja kantoran itu membosankan, lama-lama bikin capek. Pernah suatu ketika kita nonton Star Wars, durasinya lebih dua jam, kita sampai tertidur, lucuuuu. Dan hari ini menyesal karena tak “melakukan sesuatu” ketika kita terlelap di sampingku, saya menyesal karena hanya berani memandang wajahta dari samping, yang sesekali disinari cahaya film, sampai kita tersadar tak lama kemudian. Bahkan terbersit keinginan memberi satu kecupan tapi ndak jadi, saya tak mau kita jadi ilfil dan menjauh.

Sudah lupakah film terakhir kita nonton sama-sama? The Commuter, yang tak kusangka sangat seru cerita dan actionnya. Saya antri untuk mendapatkan dua tiket itu, berjubel remaja yang ngantri untuk Film Dilan, kira-kira 10 meter, dan vertigoku yang belum sembuh benar bikin saya capek setelah keuar dari antrian. Saya harus antri kak, segitu susahnya untuk bertemu denganmu, agar bisa menangkap momen-momen lucu darimu. Konsentrasi saya terbagi dua, antara melihat gerak-gerikta atau pura-pura fokus ke film. Filmnya sebenarnya bukan yang di layar kak, tapi kita kak.

Saya ingat kita selalu mencium lengan bajuta’ padahal sama sekali tak ada bau aneh kak. Kita Ras Melayu Mongoloid yang konon paling ‘harum’ keringatnya dibandingkan ras lain, jadi jangan khawatir kalau tiba-tiba kehabisan parfum dan tak sempat membeli, asal rajinjaki mandi.

Jadi begitulah, MUNGKIN Film Commuter ini adalah film terakhir yang kita tonton sama-sama. Saya memutuskan untuk jarang menghubungimu kak, meminta sedikit waktumu, menculikmu dari kesibukanmu yang sudah jadi kerja kantoran, ketemu dengan teman segeng, teman mengajarmu dulu dan seterusnya, kita juga butuh istirahat.

Pesanku mungkin akan jarang bertamu lagi ke ponselmu, tetapi isi kepala ini sesak akan hal-hal tentang dirita, kusebut-sebut namata sepelan mungkin agar tak seorangpun mendengarnya. Tak berenti kupanggil namata’, saya tidak tahu mengapa begitu, seperti robot tidak tahu kapan habis tenaganya.