Kamis, 27 Agustus 2015

Tujuhbelasan ala 2015

Perlombaan yang saya ikuti mungkin hanya lomba batuk pas di sentral, suara batuk saling sahut-sahutan di pasar. Kemarau, panasnya cuaca membuat kita harus menipu badan ini dengan meneguk minuman dingin/es. Belum lagi dengan mataku yang sudah mirip mata panda (bukan pocong loh yah *ngeles), terpaksa minum air banyak supaya bangun pipis, begitulah rutinitas kemarau tahun ini. Minum banyak, tidur, bangun pipis, kasih ngalir air, matikan dinamo, minum air lagi, tidur, begitu seterusnya, demi untuk menabung air untuk sekedar mandi pas paginya. Kalau tidak, pas paginya jatah airnya hanya cukup untuk mandi minimalis alias cuci muka doang. Hahaha...

Oke, itu bukan masalah besar, dibanding dengan orang-orang pedalaman yang harus kesusahan mendapat air bersih (gak usah sok empati gitulah, basi, klise), yang jadi bikin kesel adalah kalau nemu sopir pete-pete usil. Kitanya lagi mojok, duduk paling belakang, posisi nyaman buat nyicil ngantuk, eh malah dia kadang suka gas tiba-tiba, otomatislah tidurannya terinterupsi. Kadang saya melihat dia tersenyum setelah melakukannya. Dia seolah berkata "Enak saja luh, gue yang harus sadar seratus persen buat nyopir, elu malah enak-enakan tidur di belakang". Sial! Tapi bagus juga sih, supaya tujuan tidak kelewatan. Hehehe.

Tapi, saya harus bersyukur, kurang lebih setengah tahun membantu Om menjaga lapaknya. Saya belajar banyak hal. Betapa beratnya hidup para penjual kaki lima mereka masih bisa bercanda satu sama lain, saling menghibur. Membantunya membuat saya sedikit demi sedikit pulang ke "kesederhanaan" saya, yang selama ini ditutupi oleh gengsi akan kesarjanaan, pendidikan tinggi, harus sekolah luar negri, blablabla.

Tiga hari ini ada job fair diadakan besar-besaran oleh Disnakertrans Makassar di Graha Pena Fajar, tapi tak tertarik melayangkan lamaran selembar pun. Saya sebenarnya tak tahu ini gejala buruk atau baik untuk diri saya, apakah karena menjaga (yang katanya) "idealisme" atau sekedar menurutkan rasa malas. Pernah satu dua kali menemukan pegawai kantoran mentereng membeli di lapak, lagaknya seolah menganggap enteng kami, yang mungkin baginya hanya tammatan SMA. Saya tidak suka!

Akhirnya, terbuka pintu itu, kembali ke "kesederhanaan", menghargai kerja-keras, yang tak perlu mengumpat mengapa nilai rupiah terhadap dolar mencapai Rp. 14.000/satu dolar Amerika, itu urusan ekonom dan analis pasar dan semacamnya, kami tahu apa! Kami hanya tahu bilang "halo misteeeer!" kepada bule yang kebetulan lewat depan lapak.