Senin, 16 Juli 2012

LINGKARAN

Memandang bulan sabit itu, terkadang melihatnya seperti sebuah bibir yang tersenyum. Namun, suatu saat pula dia jungkir-balik, bibir itu cemberut. Serupa menikmati indahnya warna-warna pelangi, kita tak bisa memberi batas antara warna yang satu dengan yang lainnya. Seperti saat kita demam, tubuh kita tak seluruhnya berasa hangat. Demam mengiris-ngiris tubuh kita dalam bagian tubuh yang panas dan dingin, dan kita tak tahu di titik tubuh bagian manakah suhu netral itu berada. Kita berselimut untuk mengusir gigil, di sisi lain ada panas yang serasa ingin meledak dari dalam tubuh kita.

Seperti saya, yang akhir-akhir ini justru tak bisa membedakan antara jenius dan idiot. Banyak orang yang beranggapan bahwa jenius itu tingkat kecerdasan yang paling atas, sedangkan yang paling di bawah itu idiot. Tingkah laku orang-orang (yang katanya) jenius dan orang (katanya) idiot tak ada lagi bedanya bagi saya. Kemudian, di dalam kepalaku, idiot dan jenius bukan lagi mempunyai hubungan ‘lawan’, mereka adalah dua orang yang bergandengan tangan dengan tingkat kecerdasan lain membentuk lingkaran.



Diagram piramida, bukan soal kuantitas, tapi kualitas kecerdasan.



Lingkaran, hubungan IDIOT dan JENIUS



Saya pun kemudian khawatir, tak bisa membedakan antara tulus dan bodoh. Ketika mayoritas Ilmuwan Eropa yakin bahwa perubahan iklim itu benar-benar terjadi, yang lebih dikenal dengan istilah global warming, banyak aktivis lingkungan kemudian muncul menyerukan untuk peduli kepada alam dan lingkungan. Namun ada beberapa orang (yang konon lebih cerdas) percaya bahwa itu hanya konspirasi saja, bukan berarti saya menganggap diri saya cerdas, tidak. Saya punya pendapat sendiri tentang isu global warming ini.

Bagaimana Eropa menggulirkan isu lingkungan ini agar kita senantiasa ‘mengerti’ alam, kemudian kita mencoba untuk menanam pohon dan memeliharanya. Tapi, pemerintah dan beberapa pihak masih saja melewatkan (atau sengaja?) bahkan mengacuhkan oknum-oknum yang mengeksploitasi secara berlebihan. Kita yang setengah mati menanam dan menjaga, merekalah yang memanen untuk kepentingan dompet mereka. Yang jelas bagi saya, menjaga lingkungan adalah tugas kita bersama. Kalau mereka yang cerdas namun pesimis dan ‘cuek’, ada semacam kecerdasan yang mubazir/terbuang percuma, tapi kembali lagi itu hak mereka.

Kebanyakan orang optimis itu, selalu berpikir kalau bisa menularkan keoptimisannya kepada orang lain. Mengutip berbagai macam kalimat para motivator agar bisa mengubah si pesimis, seperti cahaya yang melabrak kegelapan, akhirnya cahaya itu sekedar lewat, ada yang berhasil tapi lebih banyak yang sia-sia. Memangnya jadi pesimis itu selamanya ‘nyampah’? Beberapa bulan lalu, saya iseng mencari, adakah seseorang yang bangga dengan kepesimisan. Memang tak ada yang secara gamblang mengatakan dirinya lebih cenderung pesimis tapi ada kalimat yang lumayan membuat saya bersyukur :

Orang optimis dan pesimis sama pentingnya.
Orang optimis membuat kapal, orang pesimis membuat pelampung. 
(Pepatah Cina)



Ini, lebih dari Cinta Segi Tiga? Cinta Segi Banyak? :D



Begitulah dunia diciptakan, kita tidak bisa menerima hanya putih, namun ada juga hitam dan kemungkinan besar datang pula abu-abu. Kita tak bisa memilih hanya satu saja, kita harus menerima ‘satu paket’ hidup ini. Kita bisa menawarkan berbagai hal kepada orang lain, namun kita tak bisa memaksakannya. Seperti A yang mencintai B, namun B belum tentu punya perasaan yang sama kepada A. Bagaimana kalau B ternyata lebih mencintai si C, dan begitulah seterusnya. Konon, kita akan menerima kebaikan yang telah kita lakukan di masa lalu, memang klise. Klise, karena memang itulah yang akan terjadi. Saling mencintailah atau punah, nasehat Prof. Morrie kepada Mitch Albom (Buku SELASA BERSAMA MORRIE).




 Ini Bunga Kupu-Kupu atau kupu-kupu yang dikutuk jadi bunga?