Kamis, 14 Juni 2012

GENGSI

Teman-teman lainnya mungkin telah mengambil sertifikat penambahan namanya masing-masing karena telah dua bulan berlalu setelah nama kami bertambah panjang dengan dua huruf tersebut. Orang tua telah beberapa kali menegur untuk pergi mengambil ijazah saya sedang skripsi ini tak kusentuh sekalipun, seribu lembar omongkosong yang harus dipermak sehingga kelihatan seperti kebenaran.

Saya tidak tahu, mengapa malah semakin memandang diri ini payah dengan kesarjanaan itu? Kebanyakan orang bangga memperlihatkannya, konon selembar itu sangat berguna untuk melamar pekerjaan. Saya malah melihatnya, orang-orang itu telah lebih mengandalkan ijazahnya, bukan dirinya-sendiri. Tidak pede memperkenalkan dirinya dengan ‘iSayah’--- “ini loh saya!” tanpa embel apa-apa.

Setelah mengambil ijazah, agenda terbesar selanjutnya pastilah mencari pekerjaan. Yang paling mudah, memasukkan lamaran ke sebuah (berkedok) perusahaan (malah) jadi sales atau di bank. Jika beruntung sedikit, kita bisa diterima sebagai sales mereka, dengan dibekali brosur tentang fitur-fitur terbaru di bank kemudian menawarkannya kepada orang-orang. Jika beruntung banyak, maksudnya fisik terbilang ‘good-looking’, Anda bisa dipekerjakan di bank, menghitung uang yang disetor dan dikeluarkan melalui kasir.

Dan saya tak memandang lagi, ijazah penting bagi mereka, mereka… pajangan. Maaf yah, ini pendapat saya. Kalau soal menghitung, tanteku yang  sudah tua dan hanya lulusan MTs lebih jago  menghitung daripada mereka. Kalau soal sales, saya lebih senang menyaksikan penjual obat di pasar atau di depan sebuah deretan ruko. Kita bisa melihat pertunjukan di sana, daripada seorang yang mendatangi Anda di waktu tidur siang dan dengan seperti terpaksa berkata ‘Maaf, bisa mengganggu sebentar? Saya ingin menawarkan blablablabla…”. Dua-duanya memang punya kemungkinan untuk menipu, paling tidak yang satunya menghibur yang satunya lagi bikin bosan.

Berbicara mengenai bosan, saya pun bosan dikira lebih cerdas daripada orang-orang kampung yang tidak pernah sekolah tinggi. Bosan dicap bodoh oleh seorang tanteku yang mengatakan “Kau, hanya mengalahkan saya dalam hal sekolah. Kau, tidak tahu apa-apa!”. Yah, tanteku itu benar. Yang kulakukan dari dulu,  hanyalah sekolah, di rumah belajar, jika ada waktu luang bermain. Menjadi benci ke dapur selain untuk makan, jadi tahunya makan saja. Adakah istilah ‘pendidikan yang berlebihan’?, Jika ada, maka hal inilah saya rasa menciderai keperempuanan sekarang.

Saya merindukan zaman-zaman sekolah saya, saya berteman justru dengan orang yang tergolong bukan pintar dan kurang populer, bahkan nakal. Ini seperti menyaksikan Spongebob dalam dirimu, dan teman-temanmu semuanya adalah Patrick. Sesekali membolos atau membuat menangis seorang guru. Membuktikan bahwa diri ini tak sempurna itu asyik dan seru. Sebagaimana, semua orang tidak bisa kau paksakan untuk menyukaimu, dan seperti itulah saya melihat seorang ‘ranking seumur hidup’ dalam kelas-kelas yang saya lalui. Jadi ranking satu, bisa jadi kebanggaan keluarga dan semua orang, tapi jadi nakal, hanya kaulah seorang yang merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘brengsek’.

Saya senang mengirim surat waktu masih sekolah. Sayang, daerah saya jauh dari ibukota kabupaten, tukang posnya sepertinya malas menyampaikan langsung jika saya punya surat balasan. Setelah dua-tiga minggu surat-surat untuk saya baru sampai di tangan saya melalui pegawai Kantor Kecamatan yang kebetulan ada tugas ke desa saya. Saat itu, saya bercita-cita ingin jadi tukang pos, yang ikhlas mengantarkan surat-surat sesuai dengan alamatnya. Saya ingin melihat seorang ibu yang senang ketika saya menjulurkan kepadanya sebuah surat dari anaknya dari pulau seberang dan sebagainya, semacam itulah. Sederhana saja! Tapi internet yang sekarang justru kugandrungi pula, telah menggeser posisi Kantor Pos. Saya sebenarnya ingin tahu, siapa-siapa saja yang masih mengandalkan jasa pos, pasti orang-orang kuno, saya jadi ingin mengenal mereka, tapi biayanya mahal sedangkan bualan ini berasal dari seorang pengangguran yang kere.

Cita-cita yang lain, daripada jadi orang kantoran yang merasa punya tempat kerja yang elit dan melimpah akan fasilitas canggih namun membosankan, saya pernah juga membayangkan mengabdikan diri menjadi tukang sapu jalanan. Bangun pagi, masih sepi, terang masih malu-malu muncul di ujung timur sana dan gemerisik sapu menjadi soundtrack setiap pagi. Menjadi tukang sapu jalanan lebih mulia bagi saya daripada jadi orang yang menutup hidung ketika kebetulan bertemu dengan mobil truk pengangkut sampah.



Kakek RERE dalam Serial Kartun BAKABON

Dimasa-masa menikmati menganggur ini, saya berfikir untuk menumbuhkan lagi beberapa cita-cita lama saya tersebut, yang di atas itu hanya dua di antaranya. Tapi sayang, saya sudah terlanjur ‘merasa eksklusif’, karena pernah kuliah, akan mendapat ijazah, tak pantas dan rugi jika melakukan hal-hal sederhana seperti itu. Saya bosan jadi eksklusif, ini seperti menyanyikan lagu Like A Rolling Stone, berhasil menampar semua orang tapi mereka justru lebih cepat sembuh daripada tanganmu yang telah menampar banyak pipi.

Mungkin, saya pun harus berhenti merendahkan para alay. Apa yang salah dengan mereka? Apakah sebuah dosa jika menjadi alay? Ini masalah selera, jika mereka senang hati menyanyikan lagu-lagu band instan, lirik-lirik cengeng, atau meniru dandanan girlband di televisi mengapa kita yang sewot? Mengapa kita yang harus gerah? Kita tak mungkin memaksa mereka untuk menikmati hal-hal yang lebih berkelas (menurut kita). Soal kualitas suara, kita tidak bisa menimpakan kesalahan pada artis yang sering lipsync di acara musik karena jika tidak demikian, biaya yang dikeluarkan oleh stasiun televisi untuk menampilkan suara asli dari sang penyanyi akan lebih banyak. Saya merasa, kita telah terlalu mendzalimi mereka.

Karena Dion Indonesian Idol mengjazzkan “Sik Asik”nya Ayu Ting-Ting, kemudian kita menilai versi dangdut koplonya jadi terdengar murahan. Jika mereka lebih suka Ayu Ting-Ting yang meriah dan ceria, kita tidak bisa memaksa mereka untuk suka versi Dion yang lebih groovy dan glamour. Ini masalah selera. Saya tidak tahu mengakhiri tulisan saya yang ini…