Kamis, 25 Oktober 2012

UNTUK AGUSTUS

Senang sekali ketika saya berhasil menemukanmu di antara ribuan pengguna dunia maya. Itu namamu, Agustus, saya tahu itu benar-benar dirimu. Tapi setelah kusapa, sepertinya saya harus kecewa. Itu ternyata Agustus yang lain, bukan dirimu. Yah, Agustus memang bukan hanya dirimu, ada banyak Agustus-Agustus yang lain. Saya mengabaikan, tapi saya tetap menyiram keyakinan itu bahwa Agustus itu adalah dirimu, temanku yang dulu. Hanya karena dia dan kau sama-sama bernama Agustus, saya memelihara kegembiraan itu walau mungkin sebenarnya tak ada gunanya.

Hingga suatu ketika, saya mengetikkan lagi namamu dan muncullah gambarmu. Saya terkejut, itu benar-benar dirimu, dengan seorang wanita, sedang memakai baju adat Palembang berwarna kuning cerah, saya tiba-tiba bahagia. Namun ternyata, alamatmu adalah alamat Agustus yang dulu, yang mengaku bukan dirimu. Saya memang marah tapi lunglai, karena kau teman baikku. Saya tidak kuasa, saya menyerah, berusaha menenangkan diri sendiri, meyakinkan diri bahwa memaafkan lebih baik.

Bohong itu memang tidak baik, tapi ada suatu waktu yang membuat kita butuh melakukannya. Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba berpendapat seperti itu, saya juga tidak mau menduga kalau ada hal yang luntur dalam hati saya yang berkaitan dengan moral. Apakah ini pertanda dewasa? Sepertinya tidak, saya malah merasa ini tanda-tanda menuanya pemikiran saya. Saya melihat orang tua (lebih tepatnya manula) itu lebih banyak kompromi daripada harus melawan.  Kondisi dan kerentaan yang semena-mena menghabisi fisiknya, membuatnya harus menyerah.

Sampai hari ini, jika ada sahabat lama, teman sepertumbuhan yang masih mengingat saya, jika saja hati ini seperti wajah, maka kedua matanya akan menangis. Bahwa pertemanan, pekerjaan-hati yang selama ini kulakukan dari dulu berbalas. Walau menangis, tapi hati itu senang. Lebih baik menangis karena senang daripada cemberut karena sedih kan? Sayangnya yang terjadi justru yang kedua. Walau muram, tapi hati ini masih menyisakan kekuatan untuk berdo’a.

Semoga kau tersenyum walau saya tak perlu melihat untuk memastikannya. Saya bukan menganggapmu lupa akan kita, saya tak pernah menganggapmu sesepele itu. Tapi jika ada ingatan yang membuatmu bahagia daripada mengingat kita, silakan! Kau tahu? Karena itu kuanggap do’aku yang dikabulkan, do’a adalah tempat paling terlemahku karena saya masih mengingatmu dengan sungguh-sungguh.

Sehingga, kesimpulanku kali ini adalah : terkadang lupa itu membahagiakan, dan begitupun sebaliknya.



pic from link
Ikan-ikan itu pasti senang berenang di udara.
Biarlah lupa (habitat) yang penting happy.