Kamis, 22 Desember 2011

MANTAN

John Lennon pernah membuat home demoFREE AS A BIRD”, seperti benar-benar menggambarkan jiwanya tengah bebas. Seolah mempertegas dia telah sebagai John Lennon tanpa embel-embel keBeatlesannya lagi, namun anehnya Yoko Ono malah mengizinkan lagu tersebut dinyanyikan pada album terakhir The Beatles dimana John Lennon telah tiada. Tapi kemudian setelah mendengarnya utuh kita bisa memaklumi, pada bagian reff justru merupakan penyanggahan, pertanyaan tentang ‘kebebasan’ itu sendiri.

Whatever happened to
the lives that we once knew?
Can we really live without each other?

Bagian ini dinyanyikan oleh Paul McCartney, membuat lagu ini semakin menarik di telinga. Paul melalui suaranya (seolah) mengingatkan bahwa mereka pernah satu dan sungguh naif jika beranggapan fase tersebut bukanlah hal yang penting bagi mereka. Persahabatan Lennon-McCartney sungguh unik, karakter masing-masing jauh, jauuuuh berbeda.

Jika John Lennon, ingin bebas seperti burung yang terbang melengkapi luasnya langit, (hampir senada) Bob Dylan justru pernah berkata “No one is free, even the birds are chained to the sky.” Kebebasan seekor burung yang bisa terbang tergantung dari langit, apalah jadinya jika tak ada langit. Ah, saya telah sering membandingkan dua orang ini, mereka berteman baik dan saya menyukai dua-duanya. Mereka, dua orang yang pernah (dan masih) menjadi ikon perdamaian dunia tapi justru saya menangkap mereka orang-orang yang sulit berdamai dengan diri mereka sendiri. Mereka…. rumit!

Pembahasan di atas untuk merayakan kebebasan saya dari bangku kuliah. Haha! Oke, saya salah, berhenti saat finish sudah di bawah kaki, tinggal diinjak, tapi rasanya capek juga kalau terus-terusan berdiri dengan satu kaki dekat garis finish karena kaki satunya lagi diangkat, ancang-ancang untuk menginjak finish. Cinta dan Pemerintah, dua hal yang rumit bagi saya, setelah duduk di perguruan tinggi membuat saya harus menambah lagi list tersebut menjadi tiga : kuliah. Jujur saya hilang kesederhanaan berfikir setelah kuliah, setiap hari bertemu dengan beberapa ‘reptil’ (begitu temanku mengaTAI mereka). Orang yang sekolah tinggi, bahkan sampai ke luar negeri pun setelah kembali yah kembali, harus mengandalkan kelihaiannya menjilat. Yah seperti skripsi yang menjangkitiku setahunan ini, 10% kerja, 90% melobi (baca : menjilat).

Maka, hubungan pendidik dan yang dididik telah jauh dari hubungan saling menguntungkan. Pengajar merasa mereka sangat dibutuhkan, mengejar tandatangannya bak artis. Haha, saya ingin tertawa mengingat kejadian tadi malam, membuatku harus segera punya keputusan bulat yakni “Tinggalkan!”. Berikut kronologisnya :

Di depan rumah aleena beliau, (kita sepakati saja disingkat jadi Bu AB) saya bertemu dengan pembantunya yang tengah menemani Ibunya Bu AB menjual di warungnya.

Saya : adaki ibu AB di dalam?

Pembantu : tunggu dulu saya tanya sama ibu haji nah…

Dia ke dalam warung dan keluarlah ibu haji mempersilakan saya masuk “Masukmaki, Nak! Adaji itu di dalam.” Pembantu itu menuntun saya masuk sembari setengah berbisik. “Takutka’ tanya langsung ma Bu AB kaa takutka dimarah-marahi lagi!” Duh, makin nggak enak perasaanku.

Bu AB : “Eh Inayah, dudukmako duluuu!” (Dia ke depan sebentar kemudian kembali) “Kenapako Inayah?”

Saya : “Bu, minta maaf Bu. Ada SKnya PD1 bilang angkatan 2004 harus proposal minggu ini, jadi saya mau minta tandatanganta’ sebagai Pembimbing II”

Bu AB : “Oh, pernahmi ketemu PD1? Apa-apa mubilang sama dia?”

Saya : “Saya hanya cerita kalau saya tidak punya kesempatan untuk urus-urus bu.”

Bu AB : “Hanya itu?” (Dia akhirnya meminta pulpen dan menandatangani lembaran itu) “Kau nda’ bilang saya di Belanda?”

Saya : Dia sempatji bilang bu, bilang ---Bu AB ada ke Belanda di’?---“

Bu AB : “Jadi kau bawa-bawa namaku supaya kau bisa diloloskan. Kau jual-jual namaku di fakultas supaya kemalasanmu bisa dimaklumi, nda’ mauka saya nah!” (Saking marahnya, pantatnya pulpenku terlempar, terlepas, jatuh di lantai. Saya hanya bisa mengalihkan pandangan ke punggung suaminya yang duduk tak menghadap ke kami, diam dari tadi mendengarkan tragedi ini. Haha)

Saya : “Nda’ji bu! Saya nda’ bilang saya salahkan ibu!”

Bu AB : “Pokoknya tidak mauka’, kau harus konfirmasi dulu sama PD1 bilang bukan salahku kau di D.O. nah… Kauji yang malas. Tiap hari saya di Belanda saya buka e-mail, saya selalu tunggu e-mailmu tapi nda kau nda pernah muncul!”

Eh, baru tahuuuuuuu kalau bisa email-emailan ma dia. Cwihhhh! Sempat ada kakak kandung menyarankan untuk e-mail ke dia tapi saya urungkan. Sepertinya dia orang yang ‘melakukan’ harus melalui kesepakatan dulu, tiga orang dosen telah mewanti-wanti saya soal ini. Pembimbing I pernah menanyakan nasib saya saat mau membubuhkan tandatangannya di persetujuan pembimbing. “Janganki dulu tandatangan Prof karena belumpi natandatangani Pembimbing II”. Dia kemudian bilang kalau saya harus hati-hati ma ibu yang satu ini, salah-salah nanti malah dipersulit. Widih yang professor saja bilang gitu, apalagi yang lain. Dan benar saja, seorang dosen yang lumayan dikenal suka mengakrabkan diri dengan mahasiswa pernah bertanya. “Inayah, bagaimana proposalmu dek?”. Saya bilang “Nda taumi, Pak. Masih sama Pembimbing II”. Bapak itu kemudian bermuka kesal bergosip dengan temannya “Edeeedeeeh, kenapakah itu Ibu begitu sekali, na ini anak maumi di D.O., seharusnya dia menger-mengermi sedikit!”. Salah satu dosen perempuan lainnya pernah juga memperingati saya “Hati-hati dek bicara sama Kak AB supaya kau nda napersulit, good luck nah!”. Haha. Berbekal dari nasehat dari mereka, setahunan ini saya merasa kemahasiswaan saya sudah tak aman. Bu AB juga pernah meloloskan judul pertama saya namun kemudian dibatalkan karena ternyata judul itu sudah ada yang angkat. Temanku kesal “Kenapa na begitu jurusanta’ Nay, saya di jurusanku naperiksa betul-betul sekertaris jurusan, tidak adapi samanya secara substansial itu judul baru natandatangani berkas pengajuan judulta’!”. Saya hanya geleng-geleng kepala, bukan saya masalahnya, yang masalah adalah KE-CE-ROBOH-AN-NYA itu Ibu AB. Selalu ‘cari aman’ di depan birokrasi fakultas, muka sopan depan dosen senior, sok disiplin ma mahasiswa.

Saya pernah dapat bukti kalau dosen-dosen muda di jurusan takut sama dia, catat yah : takut, bukan segan. Pernah seorang dosen junior mencaci maki saya “bodoh” dan “malas” di depan banyak dosen di ruangan jurusan, padahal setahu saya ibu yang satu ini baik sekali, tidak pernah berkata kasar, semua mahasiswa bilang dia baik, dan saya kemudian pun tahu bahwa ibu itu jadi berubah temperamen, pura-pura marah ke saya agar dia bisa dicap ‘sok perhatian’ sama mahasiswa. Orang baik pun terpaksa jadi reptil di depannya, ckckck berbahaya sekali, menulaaaaaaarrrr!

---Jeda iklan telah selesai, kembali ke ruang tamunya Bu AB. =P

Bu AB : “Kita berdua harus menghadap hari jum’at ke PD1, konfirmasi. Ini tanda tangan saya ambil nah. Saya tidak mau nah, kita ini orang hukum. Kau tahuji too? Kau itu, kalau bukan kasihan saya tidak tolongko Inayah! Kau itu, menjual muka ingin dikasihani terus.”

Dia mengambil lembaran yang sudah dia tandtangani tadi dan melipatnya.

Bu AB : “Sudahmi, pulangmoookooo dulu!” 

Dia kemudian masuk, memunggungi saya. Saya ingin pamit ke dia, selayaknya tuan rumah dan tamu, tapi sebelum saya pamit pulang dia sudah memunggungi saya, telah dua kali terjadi. Saya pernah punya niat memamerkan kesombongan saya juga padanya, maksudnya membalas sikapnya ke saya, tapi ini hanya lelucon saya via sms dengan teman saya (yang juga berada di ujung tanduk).

Saya : “Begitu di’, janji selesai sama-sama, kalau d.o. juga sama-sama. Pembohong!”
Lee : “Saya kan ada bakat poliTIKUS, Nay, jadi janganko heran. Haha. Sori nay, maafkanka’. Apa yang bisa kubantukanko supaya sama-samaki bisa selesai? Saya siap jadi tukang ojek, antar2ko pii rumahnya dosen”
Saya : “Saya mau diantar pakai helikopter sekalian supaya bisa dipamer sama mereka. Ini, apaaa? Ojeeek? Ngga keren, tidak bisa dipamer, memalukan!  :P”

---- Nda usah dilanjutkan, nanti yang baca ketularan gila!

Jadi telah setahun ini, saya mati-matian menghidupkan kembali sebagai mahasiswa yang menyelesaikan kemahasiswaannya dengan baik, urusan rumah sering ditelantarkan, bersahabat ma kopi, tapi kejadian tadi malam membuat diri saya mati. Saya bukan mahasiswa lagi, bukan alumni, tapi mantan mahasiswa! Oke Bu AB, sepertinya hubungan kita akan baik-baik saja seandainya kita bertemu di kemudian hari bukan sebagai mahasiswa-dosen, tapi sebagai masyarakat biasa, tanpa embel-embel keilmuan (baca : sekolah/pendidikan).

Umur kemahasiswaan tinggal sehari lagi… Mari hitung mundurrr….!!!!

Sesekali melirik jam di hape, sementara itu telpon beberapa kali dari Mak, dari kakak, dari teman seperjuangan tak ada yang kuangkat. Wahai kaliaaaaaan, bersabarlah, saya sedang menunggu momen istimewa yang akan kukabarkan kepada kalian! Jadi jangan menelpon, hanya akan mengganggu kekhusyukan ini, jadi tak akan saya angkat. Okeeee?


Oke Nay, rayakan saja!