Jumat, 27 April 2012

CHILDISH


“Buzz, kau tidak bisa terbang, kau hanya mainan plastik. Itu bukan terbang, itu jatuh dengan gaya”, teriak Woody si koboy kepada Buzz si robot luar angkasa saat ingin melarikan diri ke rumah Andy, tuannya. Saya tidak bisa menyangkal, Toy Story adalah salah satu film yang kugemari, bagaimana sekelompok mainan bisa berbicara dan bergerak jika tak ada manusia yang melihatnya. Selalu ingin menangis ketika lagu “You’ve Got a Friend in Me” tiba-tiba mengalun di tengah-tengah film. Ingin rasanya mengumpat John Lasseter akan karyanya yang satu ini. Betapa tidak, sejak kecil saya berfikiran kalau jika ada mainanmu yang tiba-tiba hilang mungkin mainanmu justru yang pergi darimu, entah kemana, bisa jadi kau akan menemukannya kembali bisa juga tidak, ahaha, jadi ingat Thinker Bell, peri yang punya bakat memperbaiki mainan rusak dan hilang, kemudian mengembalikannya pada yang punya. Yah, saya masih suka film kartun, saya masih anak-anak!

Saya tidak mau menyalahkan diri sendiri akan sifat saya yang satu itu, mengapa kita harus terpaksa jadi dewasa jika masih menyenangi menjadi anak-anak. Saya tidak akan marah jika ada orang yang mengatai saya kekanak-kanakan, biarlah mereka memperlihatkan sok kedewasaan mereka. Jika akhir tahun lalu kau menasehatiku, kau merasa dewasa sehingga harus menunjukkan jalan pada kekelaman kali ini yang kuhadapi. Ah, saya tidak suka! Kau yang dulunya kuanggap sebagai tempatku bertanya “siapa saya”, tempatku memantapkan diriku yang sebenarnya malah membuatku ingin memecatmu, saya kehilangan “komplotan”. Semua orang sudah jadi hakim, saya tak suka. Mengapa orang suka menjadi “orang dewasa” bagi masalah orang lain. Coba tilik saat mereka yang justru dapat masalah, mereka sama saja seperti kita, kembali menjadi anak-anak yang punya solusi sendiri bagi masalahnya tersebut.

Bagi saya tidak ada orang tua, tidak ada dewasa, tidak ada anak-anak. Saya tidak mau dihakimi, maka saya pun tak akan menghakimimu seperti orang lain. Setiap orang harus menghadapi akibat dari perbuatannya, saya seperti menyesal harus menghadapi akibat keputusan orang lain akan nasibku sendiri, saya ingin menyesal asalkan itu perbuatan saya, hasil pikiran saya, bukan atas tunjuk sana tunjuk sini orang lain. Ketika kita berhasil versi mereka, saya tidak suka saat mereka membanggakan diri atas keberhasilan itu. “Kau tidak akan jadi sarjana jika bukan saya yang memaksamu untuk melakukannya.” Mereka berebutan mencari muka dan nama baik di balik keberhasilan itu, sepanjang film kita capek-capek bermain selayaknya pemain utama tapi pada akhirnya kita hanya figuran. Buat apaaaaa!

Sejujurnya, saya tidak suka mereka, yang suka menyemangati kita menuju cahaya. Saya tidak butuh mereka, saya lebih butuh mereka yang bersedia menemani memaknai kegelapan, mendukung keputusan kita bahwa kita juga berhak menyesal akan semua keputusan kita daripada harus berhasil tapi “diklaim” orang lain. Dunia kita lengkap, lalu mengapa kesempurnaan orang lain harus mencacati dunia yang setengahmati kita bangun?

Saya masih anak-anak, jadi jangan khawatir! Saya berjanji tetap akan jadi anak-anak...