Rabu, 10 Agustus 2011

SAFARI RAMADHAN ~10082011

Kita hampir tiba pada puasa kelima belas, hari yang membelah bulan ramadhan menjadi dua tolak ukur, antara “masih bisa dibilang awal ramadhan” dan “sisa sedikit bulan ramadhan”. Saya tak mau menceritakan kesolehan apa sajakah yang telah saya amalkan selama ramadhan kali ini. Yah, jujur saja, malah yang kulakukan hanya mengeluh, serasa udara panas selama ramadhan ini belum berat untuk kuhirup. Begitulah, kita selalu sibuk menyalahkan seolah ada sesuatu yang bisa diperbaiki dari itu padahal kita justru menambah beratnya.

Tiap hari, kebanyakan waktu habis di atas pete-pete dan becak atau bentor menuju ke rumah pengajar. Sebagai mahasiswa terancam D.O., kuping saya sudah penuh tuntutan sana-sini untuk segera kelar kuliah, mengambil jatah sarjanaku sendiri lewat perjuangan tugas akhir. Saya terkadang bengong melihat mahasiswa yang tergolong baru untuk berdesak-desakan mengurus nilai yang entah tercecer di kertas bagian mana, mengejar dosen demi sebuah tandatangannya. Akankah mereka semangat untuk mengejar kesarjanaannya nanti. Dan itulah pertanyaanku; mengapa harus sarjana? Orang bisa berbuat banyak tanpa harus sarjana. Tapi, demi membahagiakan orangtua, jadi budak tandatangan saya pun rela. SAFARI RAMADHAN, door to door rumah dosen.

Minggu lalu, pembimbing mengiyakan untuk memberikan koreksi proposalku pekan ini. Berhubung nomor beliau rusak jadi agak susah menentukan kapan bisa bertemu. Melalui bantuan dosen lain, saya menanyakan keberadaan beliau. Alhamdulillah direspon baik, saya datang dan dia mengatakan agar saya menemuinya dalam ruangan. Dengan gugup bercampur ngos-ngosan karena habis naik tangga terburu-buru saya menanyakan proposal saya. Dia dengan santai berujar “Duh, sori! Saya lupa baca proposalmu, minggu depan lagi nah kau baru bisa cek!”

Sehabis dari ruangan tadi, saya merasa telah dibunuh perkataan dosen tadi. Saya yang ‘mati’ melangkah, mayat berjalan, menyedihkan! Hantu seharusnya sudah bisa terbang atau paling tidak lompat-lompat, tapi itu lebih baik daripada ngesot. *maaf, bioskop endonesa terselip di sini*. Mimpi untuk ujian proposal pekan depan sudah dikuburkan. Saya pun akhirnya tak jadi melapor bahwa langkah menuju sarjana telah maju setahap lagi. Walau tadi siang telah bertemu seorang dosen lainnya, seorang wanita bercadar warna gelap yang selalu menjabat tangan saya sehingga saya merasa dia sedang menyalurkan semangatnya. Terima kasih Bu! Namun sekarang, dua jam berselang, saya telah mati kembali… Rasanya seperti iklan tetesmata 'tiiit' di televisi yang merasa sendiri karena sakit mata lengkap dengan sound lagu jadul “all by myself, don’t wanna be…!

Semua orang tiba-tiba menjadi tersangka, tapi kembali, seperti tabiat lama saya, saya mudah membalikkan posisi sudut pandang saya terhadap orang lain. Sayalah letak kesalahannya, saya yang sudah terlambat. Menangis sepertinya bukan hal yang bisa membuat dosa itu luruh, yang bisa saya lakukan hanya menertawakan, kau merasa telah memerdulikan orang lain, tak mau mendesaknya agar dia bisa meloloskan kemauanmu dan ternyata dia dengan gampang hanya bisa menjanjikan “nanti”, bukan “sekarang”. Baiklah, bagiku itu terpaksa harus lucu!

Dengan rasa humor yang menyedihkan hasil bertemu dosen pembimbing, saya menuju ke pembimbing yang lainnya, saya telah berjanji bertemu di rumahnya. Beliau tak banyak mengkritik, bahkan perbincangan kami lebih mengarah ke diskusi. Saya tak punya niat untuk menampakkan keputusasaan tadi walau beliau menanyakan kabar proposal saya dari pembimbing yang tadi. Dia memakluminya, dan juga lebih memaklumi saya. Saya ceritakan saja alakadarnya tanpa mengikutsertakan bagaimana sebenarnya perasaan saya. Ada semacam perasaan yang entah datang darimana, telah membuat saya harus menyingkirkan keinginan untuk curhat. ALLAH mungkin menyapa saya atau malah menampar saya. DIA memperlihatkan saya akan suatu ‘gambar’ ajaib. Mengapa tiba-tiba kesadaran dan mata saya teralih ke pemandangan tersebut. Inilah sebenarnya yang ingin saya ceritakan sejak dari tadi…

Saat menumpang bentor tadi masuk ke Perumdos-Unhas Tamalanrea menuju rumah dosen, saya tak merekam baik di sudut jalan mana karena saya lebih terfokus pada Daeng Becak yang beristirahat di atas becaknya, dinaungi sebuah pohon. Lagipula bentor melaju lumayan kencang, saya hanya melaluinya. Yang terekam jelas hanya baju putih lengan panjang lusuh dan topi coklatnya, tak ingat becaknya warna apa, tak ingat wajahnya dengan jelas. Tapi kejadian sekilas ini membuat saya tiba-tiba miskin, tak punya apa-apa. Dia sedang khusyuk membaca apa yang tengah dipegangnya, sebuah buku kecil. Dan dengan sangat malu, saya pastikan itu Al-Qur’an.



*pete-pete : angkot
bentor : becak-motor
daeng becak : pengemudi becak