Selasa, 07 Juli 2015

Bukan Puisi

Sudah lama rasanya tidak menulis surat cinta, rasanya bahagia sekali saat ada sesuatu yang menuntut untuk diungkapkan. Saya tidak tahu, saya semakin tidak percaya kata puitis, bagiku itu semua gombal. Jadi, maafkan jika nanti kau merasa digombal, kalau memang lebay, itulah saya sekarang. Lebay hanya cara orang lain menyalahkan kita dengan apa yang kita rasakan, menuduh dan mencap kita berlebihan, mereka hanya sedang tak merasakannya sekarang. Mereka tidak tahu, bahwa mereka akan lebay juga jika tiba pada gilirannya.

Setiap hari rasanya berat sekali, tapi ada ingatan-ingatan ini yang membuatkanku perahu senyum, penyelamat untukku sebelum ditenggelamkan berbagai macam masalah seharian. Mengingatmu, adalah hal yang paling menyenangkan akhir-akhir ini. Tak ada waktu luang lagi karena setiap jam selalu saja terngiang namamu. Tak ada yang mendengarnya, termasuk dirimu. Namamu menjelma mantra bagiku, bahwa ketika saya sedang berhadapan dengan masalah ada dirimu, yang di pikiranku, yang menyingkirkan semua itu.

Saya ingat celana jeans tuamu tiga tahun lalu. Robekan di lututnya itu menunjukkan betapa setianya dia menemanimu. Sepuluh tahun mengenalmu sebagai kenalan biasa, membuatku merasa telah berfikir salah tentangmu, bahwa kau suka tampil klimis dan rapi, saya salah. Kau tak seperti dugaan saya selama ini. Kemeja kotak-kotak hitam-biru itu juga, terlalu sering kau kenakan, beruntungnya dia, menjadi kemeja kesayanganmu.

Sepuluh tahun mengenalmu tapi mungkin baru enam bulan ini tahu, kalau ada lesung pipi yang menghiasi wajahmu. Ada dua titik tai lalat mengawal bibirmu. Hal-hal sekecil itu, entah mengapa terasa manis dan penting. Dan jangan khawatir, saya tidak ingin mendesak dan memaksa, izinkan saya mengenal dirimu sedikit demi sedikit, seperti halnya detail-detail itu. Biarkan saya menghayati semua itu, saya tidak mau terpaksa menghafal kalau ujungnya harus lupa dan itu hanya akan membuat dirimu berlalu, kau tahu, maksudku kita jadi kenalan biasa lagi. Saya tak mau.

Baru bulan lalu tahu kalau kau itu suka film drama, entah ini cute atau lucu, katakan saja saya memang usil, sering menertawai seleramu, menyepelekan lagu-lagu favoritemu. Terkadang saya berfikir, sayalah lelakinya, kaulah perempuannya. Hahaha, oke saya memang usil, kau tak mungkin mau jadi perempuan bagi saya yang lelaki. Oke, oke, saya tetap perempuannya, saya mengalah. Lalu kau tertawa menang, tak indah tawa itu karena suaramu sejujurnya cempreng, hahaha. Nah tuh usil lagi kan saya! Tapi itu yang menyenangkan karena itulah jalan yang bisa kutempuh untuk mendengar tawamu, sesering mungkin.

Saya tak mungkin lupa tempat kita berdiskusi, saling menertawakan selera musik dan film masing-masing. Saya sering duduk di situ, dengan kursi kosong tempatmu duduk, di depanku. Terbayangkan, kau di sana, ketika kita hening, kehilangan topik, kita buru-buru menengok gadget masing-masing, handphone poliponik yang tidak canggih yang entah mengapa tibatiba membuat empunya sibuk. Kau menyembunyikan apa dengan itu? Rasa canggungkah? Kalau saya, berharap ada seseorang yang ingin menculikku segera sebelum aktingku ketahuan olehmu.

Mengapa harus menyembunyikan itu semua? Karena saya tak mau mendesakmu, saya tak memaksamu mengambil keputusan, entah itu baik atau buruk untukku. Tak ada yang bisa menjamin kita akan terus menjalaninya seperti ini, melangkah lebih jauh lagi atau justru berlalu begitu saja, tidak ada yang tahu. Jadi saya tak mungkin menuntut kau atau saya akan berjanji sesuatu, hubungan ini jangan terlalu dibebani dengan hal-hal seperti itu, itupun kalau kau masih menikmati hubungan ini. Karena berjanji sehidup-semati, bersama dalam suka dan duka, kedengaran sangat gombal, ya kan? Biarkan puisi-puisi itu mewakilinya, jangan kita, kita bukan puisi. Kita, tak percaya lagi dengan itu semua. Betapa tidak romantisnya kita.