Tampilkan postingan dengan label neting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neting. Tampilkan semua postingan
Minggu, 03 April 2016
ditumpuk
Label:
buku,
curhat picisan,
keluarga,
neting
Buku yang judulnya tak diperlihatkan itu adalah buku yang kubeli dari bulan satu, dan belum dibaca sampai sekarang. Makin hari makin malas membaca. Di rumahku ada tiga orang yang suka menumpuk bahan bacaan, minimal dua kali dalam setahun Mak mengharuskan kami memilih mana yang harus dibuang dan disimpan. Bagi kami sih semuanya penting, tapi daripada Mak marahmarah, jadi biarlah... sedih. Mak bilang, buku hanya sekali dibaca, setelah itu tak ada gunanya lagi, hanya menuhin ruangan saja.
Buku tidak ada apaapanya sampai dibaca, bacaan dan pengetahuan pun tak ada apa-apanya jika tidak diaplikasikan ke kehidupan seharihari. Tanteku yang dari kampung akan tertawa mengejek saya seandainya bukubuku di foto tersebut buku resep memasak atau berkebun, karena saya payah dalam memasak dan Bapak dan Mak saya bukan lagi ''keturunan petani'' yang suka bercocoktanam, mereka guru dan pedagang.
Tante saya pernah bilang kalau kami ini, anaana' monri e*, tidak tahu apaapa selain sekolah, buku dan belajar. Dia pernah bilang kepada kami, mukaaalaa sikolama'tu!**
Ada benarnya, kami mah apa atuh, hanya budakbudak ilmu pengetahuan semata.
*anak zaman sekarang
**saya hanya kalah sekolah dari kalian semua
Senin, 22 Desember 2014
CACAT
Label:
artikel siluman,
curhat picisan,
fiksi,
neting
Sepuluh tahun lalu...
Dia yang baru kukenal dua hari, menghampiri kursi tempatku duduk dan mengambil bukuku. Didapatinya dua buah cerpenku, dua buah cerpen yang kubuat saat SMA, ‘’kamu suka nulis?’’ saya tak menjawab, dia bagiku masih orang asing, ‘’saya juga suka nulis.’’ tambahnya. Dosen masuk, kami berhamburan menemukan kursi masing-masing.
Lima tahun lalu...
‘’Sedang bikin apa?’’, sms seperti itu sering mampir di handphoneku, dari dia seorang, keluargaku pun sudah tahu kedekatan kami, demikian pun dengan teman seangkatan. Ada yang bilang kami seperti saudara, punya kemiripan wajah, ada yang beling hubungan kami sepasang kekasih. Whateverlah, orang hanya mencap, kami yang menjalaninya.
Setahun yang lalu...
Handphone saya hampir tak punya kegunaan lagi selain melihat jam, dan hanya sebuah sms penting pernah mampir, ‘’Apa kabarmu?’’, itu bunyi smsnya. Hai orang asing, tiba saatnya kita jadi kenalan biasa saja. Mungkin saya yang lelah mengenal setiap dirinya, kini muncul dirinya yang baru lagi. Semua teman dan keluarga menanyakan kabarnya, saya tak tahu harus menjawab apa. ‘’Teman macam apa kamu tak tahu apa-apa tentang temanmu?’’ Yah, teman macam apalah saya ini.
Saya tak tahu apa-apa lagi tentangnya, hubungan ini hanya punya satu kaki untuk melangkah ke depan, tak ada kaki kiri dan kanan yang bergantian di depan dan satunya menahan berat badan di belakang, pincang. Sebelahnya lagi lunglai, tak meminta pertolongan, asik menikmati kesakitannya sendiri.
Mungkin akan ada sapaan basa-basi, dan hanya balasan ‘’hehehe’’ sekedarnya dari saya atau darinya. Seperti halnya kaki pincang tadi punya sanggahan lagi, tapi dari kayu, yang lunglai itu tetap asik di situ menghabiskan dukanya.
Kamis, 27 November 2014
untuk apa tulisan yang bagus
Label:
curhat picisan,
neting
Gadis Surat, sungguh tidak kekinian. Barangkali memang ada baiknya mengganti nama blog ini dengan ''curhat picisan'' saja. Makin hari tidak ada postingan bagus, saya juga tak ada niat untuk menghilangkannya, bahwa saya juga pernah alay, menye-menye dan semacamnya, agar saya tidak sok eksklusif, saya pernah melalui fase itu. Dengan begitu saya tak mudah mencela selera orang lain.
Jadi ingat seorang kawan, kini diakui sebagai penulis, sekarang malang-melintang di festival-festival. Ketika pertama kali membacakan puisinya, seorang senior seperti memandangnya sebelah mata. Kini, senior itu justru berbalik jadi jempolers di setiap apa yang diposting di wall facebooknya, betapa alaynya...
Maksud saya, jangan terlalu cepat meremehkan kemampuan orang lain, hanya karena dia bukan teman komunitasmu sehari-hari beraktifitas bersama, hanya karena kau tak melihat bagaimana dia berusaha. Atau mungkin penggiat seni itu memang butuh eksklusif? Bergaul di antara mereka saja? Masa bodoh.
Jadi penulis kesannya keren, tulisan saya pernah dimuat di beberapa buku. Rasanya biasa saja. Mungkin ini yang dirasakan oleh tokoh pedagang yang di Novel Alkemis, seumur hidupnya dia memimpikan naik haji, namun seumur hidupnya pula dia enggan mewujudkannya, dia takut kalau keinginan satu-satunya tersebut terkabul, maka hidupnya tidak berarti lagi. Dia bukan manusia yah? Yang benar saja, manusia itu banyak keinginan.
Tapi itulah yang terjadi. Tuh lihat, novel yang kukutip saja termasuk novel lumayan mainstream, saya malas baca buku memang. Saya tidak ada keinginan lagi bikin tulisan yang bagus, walau sebenarnya selama ini saya tak yakin tulisan saya benar-benar bagus. Saya pernah bikin puisi, tapi kata abangku, apa artinya semua puisi kalau egomu yang berkuasa, ''kau sekedar indah di kata-kata''. Sempat juga tertarik jurnalisme sastra, tapi belakangan sadar, keindahan hanya dijadikan orang-orang menyelipkan hal-hal yang sebenarnya buruk, yang membaca jadi memaklumi, tapi itu tergantung sih.
Jadi ingat seorang kawan, kini diakui sebagai penulis, sekarang malang-melintang di festival-festival. Ketika pertama kali membacakan puisinya, seorang senior seperti memandangnya sebelah mata. Kini, senior itu justru berbalik jadi jempolers di setiap apa yang diposting di wall facebooknya, betapa alaynya...
Maksud saya, jangan terlalu cepat meremehkan kemampuan orang lain, hanya karena dia bukan teman komunitasmu sehari-hari beraktifitas bersama, hanya karena kau tak melihat bagaimana dia berusaha. Atau mungkin penggiat seni itu memang butuh eksklusif? Bergaul di antara mereka saja? Masa bodoh.
Jadi penulis kesannya keren, tulisan saya pernah dimuat di beberapa buku. Rasanya biasa saja. Mungkin ini yang dirasakan oleh tokoh pedagang yang di Novel Alkemis, seumur hidupnya dia memimpikan naik haji, namun seumur hidupnya pula dia enggan mewujudkannya, dia takut kalau keinginan satu-satunya tersebut terkabul, maka hidupnya tidak berarti lagi. Dia bukan manusia yah? Yang benar saja, manusia itu banyak keinginan.
Tapi itulah yang terjadi. Tuh lihat, novel yang kukutip saja termasuk novel lumayan mainstream, saya malas baca buku memang. Saya tidak ada keinginan lagi bikin tulisan yang bagus, walau sebenarnya selama ini saya tak yakin tulisan saya benar-benar bagus. Saya pernah bikin puisi, tapi kata abangku, apa artinya semua puisi kalau egomu yang berkuasa, ''kau sekedar indah di kata-kata''. Sempat juga tertarik jurnalisme sastra, tapi belakangan sadar, keindahan hanya dijadikan orang-orang menyelipkan hal-hal yang sebenarnya buruk, yang membaca jadi memaklumi, tapi itu tergantung sih.
Senin, 11 Agustus 2014
PENGAKUAN MASHANDA
Label:
artikel siluman,
fiksi,
kartun,
keluarga,
neting
Setelah membuat beberapa video, kali ini saya membuat pengakuan tertulis.
Tidak perlu menjadi orang dewasa untuk memahani anak-anak, orang dewasa hanya peduli pada lucu atau tidaknya anak itu. Hanya anak-anak yang mengerti anak-anak. Saya sering bertengkar dengan anak-anak yang saya temui karena saya menganggap pendapat mereka pentingg, bukan seperti orang dewasa yang selalu bilang kalau “ah, sudahlah, dia kan hanya anak kecil!”
Bahkan dari penglihatanku, orang dewasa yang dipandang pendapatnya itu, kalau bukan sekolahnya tinggi, ataukah kaya, ataukah punya jabatan, tapi kebanyakan orang dewasa baru dimintai pendapatnya jika sudah menikah. Ini sangat tidak adil terutama bagi anak-anak.
Oprah Winfrey belum pernah menikah tapi dia sudah berbuat banyak kebaikan. Kebaikanlah yang membuatnya didengar, kebaikanlah yang membuatnya punya banyak keluarga, bukan dari hubungan darah ataupun perkawinan. Apa-apaan ini, saya malah menjadi anak yang antifamily. Meski demikian, saya selalu menangis jika menonton, atau mendengar kisah keluarga yang mengharukan, karena kata orang itu sudahduah naluri pemberian tuhan, jadi begitulah, saya melawan naluri pemberian tuhan (???)
Tulisan macam apa ini, tidak menginspirasi, hanya tumpahan keegoisan semata.
*Mashanda, tanpa huruf R. Masha? Masha yang ditemani beruang itu? Bisa jadi….
Tidak perlu menjadi orang dewasa untuk memahani anak-anak, orang dewasa hanya peduli pada lucu atau tidaknya anak itu. Hanya anak-anak yang mengerti anak-anak. Saya sering bertengkar dengan anak-anak yang saya temui karena saya menganggap pendapat mereka pentingg, bukan seperti orang dewasa yang selalu bilang kalau “ah, sudahlah, dia kan hanya anak kecil!”
Bahkan dari penglihatanku, orang dewasa yang dipandang pendapatnya itu, kalau bukan sekolahnya tinggi, ataukah kaya, ataukah punya jabatan, tapi kebanyakan orang dewasa baru dimintai pendapatnya jika sudah menikah. Ini sangat tidak adil terutama bagi anak-anak.
Oprah Winfrey belum pernah menikah tapi dia sudah berbuat banyak kebaikan. Kebaikanlah yang membuatnya didengar, kebaikanlah yang membuatnya punya banyak keluarga, bukan dari hubungan darah ataupun perkawinan. Apa-apaan ini, saya malah menjadi anak yang antifamily. Meski demikian, saya selalu menangis jika menonton, atau mendengar kisah keluarga yang mengharukan, karena kata orang itu sudahduah naluri pemberian tuhan, jadi begitulah, saya melawan naluri pemberian tuhan (???)
Tulisan macam apa ini, tidak menginspirasi, hanya tumpahan keegoisan semata.
*Mashanda, tanpa huruf R. Masha? Masha yang ditemani beruang itu? Bisa jadi….
Minggu, 20 Juli 2014
ketika kau bilang saya jahat, maka saya lebih jahat kepada diri saya sendiri
Label:
curhat picisan,
neting
Ketika saya bilang kau itu teman yang jahat, melupakan teman dan mengabaikannya begitu saja, maka tenang saja, karena setelahnya saya akan bilang kalau memang sayalah yang membosankan.
RAMADAN 2014
Buka sosmed pas ramadan tahun ini, serasa tidak puasa lagi, fitnah sudah jadi ibadah. Maka, selamat menjalankan ibadah fitnah. #pilpres
Jumat, 08 November 2013
DEMO BURUH Ala Gue
Label:
artikel siluman,
curhat picisan,
ideologi sotta',
neting,
poting,
teman,
untag
You have so many relationships in this life
Only one or two will last
You go through all this pain and strife
Then you turn your back and they're gone so fast
And they're gone so fast
So hold on to the ones who really care
In the end they'll be the only ones there
When you get old and start losing your hair
Can you tell me who will still care?
Yaelah, Hanson lagi, maaf… maaf… lagi musim Hanson di telingaku, salam Mmmbop, ehehehe. Seperti petikan lirik di atas, kita bisa menjalin hubungan dengan banyak orang, kita berharap semuanya berjalan lancar, kita berusaha mempertahankannya. Tapi di luar dugaan, kita akan tersandung banyak masalah yang membuat satu atau bahkan lebih hubungan yang kita jalin akan renggang, semua usai sampai hanya tertinggal satu atau dua.
Sudah setahun bekerja di tempat kerja, sampai tiba pada waktu rasa teraneh yang pernah kualami dan beberapa teman alami juga. Seorang atasan terbaik, lumayan ngemong kepada kami berhenti. Sudah sebulan tidak ada gelak ngakaknya memecah suasana serius kala rapat. Sms ancaman “deadline” darinya tidak akan ada lagi, saya sebenarnya sms beliau tapi tidak dibalas. Semoga dia segera mendapatkan kerja yang lebih layak, amin!
Ketika seseorang memasuki sebuah kantor, tugas seorang Bos untuk menjamin bahwa kita akan nyaman bekerja di bawah kepemimpinannya. Kita butuh upah dari dia, dia butuh tenaga kita, hal yang sudah lumrah. Tapi lama kelamaan, rasa nyaman itu terkikis sedikit demi sedikit. Bos yang baik seharusnya bisa mengembalikan rasa nyaman bekerja bawahannya, idealnya sih begitu. Namun, Bos juga manusia biasa, segala hal di dunia ini punya batas, termasuk rasa nyaman tadi.
Terkadang membangun rasa nyaman, terkadang orang lain menyapa kita dengan kata sapaan (bahasa pokem) agar kita seolah telah dekat dengan mereka padahal mungkin saja baru kenal, seperti beberapa teman di kantor juga. “Beib”, “Ciiint”, juga “Sayang”, saya sendiri tak biasa dan ogah mengobral sapaan seperti itu. Entahlah, kata-kata itu jadi bergeser makna setelah terlalu sering ‘disalahgunakan’. Besok-besok, kita akan berkelahi/tawuran dengan sapaan itu juga. Aneh sih, tapi mungkin saja terjadi. Semua bisa bilang sayang, kayak lagu yah. Eh, coba dengarkan “Semua Bisa Bilang Sayang” versi Balawan (hallah, kok malah promo?).
Ada yang pergi ada pula yang datang, untuk sementara ini saya masih bisa menghadirkan rasa nyaman itu. Namun, nasib teman sekantor tadi bisa saja menimpa diri saya sendiri juga. Ada terbersit keinginan untuk latah, nyaleg saja, tapi kemudian saya teringat pendapat teman, katanya saya sulit tersenyum di depan kamera, lah, bagaimana mau kepilih kalau tidak bisa pajang senyum, mungkin saya pasang emoticon saja yak! Hahaha…
Jadi ingat, saya di sekolah pernah beberapa kali jadi provokator karena benci kepada beberapa guru, bahkan kepala sekolah. Kurang ajar yah saya, ahahahah… Tapi saya hanya berhasil menggalang tenaga paling banyak tiga orang. Gak bisa demo dengan tenaga minim seperti itu, yang berhasil saya lakukan dan beberapa teman hanya meneror Pembina yang bersangkutan. Pernah bikin nangis guru, dua kali, sekali di smp, sekali di sma.
Tapi yang terakhir, saya pernah benci sama Kepala Sekolah saya sendiri. Pernah satu kali kami bolos, keliaran di dalam sekolah karena tidak ada guru. Seketika dia datang, kami berhamburan masuk kelas termasuk saya. Sementara ada beberapa teman yang ‘berkuping tebal’ tetap berdiri di taman. Di giringnya teman-teman masuk kelas satu-satu, seperti anak kecil yang dituntun. Kemudian, di depan kelas, mulutnya menamai kami dengan nama binatang. Saya sangat benci terhadap sikap kepsek saya saat itu.
Tapi saya tidak bisa apa-apa. Teman-teman yang punya andil di kelas kebanyakan anak bangsawan, kepsek saya itu dibilang dekat dengan bangsawan, bahkan ada kebijaksanaannya yang membuat saya bingung, ‘anak arung’ yang hampir menghilangkan nyawa seorang guru terbaik di sma itu dengan gampangnya naik kelas. Bahkan saya mempertanyakan lagi kebangsawanan adik kelas saya itu, orang tuanya seharusnya malu punya embel-embel Andi di depan namanya.
Kebangsawanan, sepertinya itu pulalah yang membuat teman-temanku enggan menerima sepenuhnya pendapatku untuk membenci kepsek. Arung dari kecil dituntun oleh orangtuanya untuk sopan santun, tidak bicara keras, memuliakan orang lain. Berlebihan memberlakukan aturan baku tersebut membuat banyak bangsawan mengubur kekritisannya.
Jadi saya tak bisa apa-apa selain memaklumi kepsek yang baru menjabat di sekolahku baru setahun saat itu, apalagi saya teringat cerita Bapakku sendiri ketika menolak ditawari olehnya menjadi Ketua Komite. Sehingga tak aneh lagi bagi saya, ketika keputusan membangun masjid sekolah padahal sudah ada masjid yang berdiri di depan sekolah. Dia pun berlindung pada hadis Nabi untuk menghalalkan keputusan aneh itu, ketika seorang muslim tiba pada suatu tempat maka perbuatan yang paling mulia baginya adalah membangun masjid. Ya Allah, maafkan dia!
Baiklah, itu saja dulu curhatan/demo saya, berdo’a di lanjutkan! Jika banyak yang mencaci kalian berdo’a di socmed, abaikan saja, itu hak kalian. Bukan hanya kalian yang salah karena cengeng dan kelihatan ‘salah tempat’, mereka juga salah kok, perhatian banget mereka sama kalian yang masang status kayak gitu. Kalau Tuhan enggan mengabulkan do’a itu, paling tidak ada si nyinyir tadi yang dengar. Tuhan tidak butuh bikin akun di FB atau twitter untuk mengetahui apa isi doa di statusmu, dia (si nyinyir) yang manusia biasa bisa baca statusmu apalagi Tuhan yang Maha Mengetahui. Ini seperti mempermasalahkan, mengapa sinetron yang tokoh-tokohnya bisa pakek kata “dalam hati”, itu hak sutradaranya. Tapi tak apalah mereka yang nynyir hadir, paling tidak kita bisa berfikir, dan akhirnya kita bisa memilih untuk tetap “bodoh” atau menjadi “cerdas”.
Berdo’a dilanjutkan kembali…. Karena sudah terlalu panjang, maka ini doa terakhir di note ini. Hindarkanlah kami dari bos yang koro-koroang*. Amin!
Nb : Dibikin untuk turut memeriahkan demo buruh yang sudah berlangsung kurang lebih dua pekan ini.
* Koro-koroang (Makassar) : khawatir berlebihan
Only one or two will last
You go through all this pain and strife
Then you turn your back and they're gone so fast
And they're gone so fast
So hold on to the ones who really care
In the end they'll be the only ones there
When you get old and start losing your hair
Can you tell me who will still care?
Yaelah, Hanson lagi, maaf… maaf… lagi musim Hanson di telingaku, salam Mmmbop, ehehehe. Seperti petikan lirik di atas, kita bisa menjalin hubungan dengan banyak orang, kita berharap semuanya berjalan lancar, kita berusaha mempertahankannya. Tapi di luar dugaan, kita akan tersandung banyak masalah yang membuat satu atau bahkan lebih hubungan yang kita jalin akan renggang, semua usai sampai hanya tertinggal satu atau dua.
Sudah setahun bekerja di tempat kerja, sampai tiba pada waktu rasa teraneh yang pernah kualami dan beberapa teman alami juga. Seorang atasan terbaik, lumayan ngemong kepada kami berhenti. Sudah sebulan tidak ada gelak ngakaknya memecah suasana serius kala rapat. Sms ancaman “deadline” darinya tidak akan ada lagi, saya sebenarnya sms beliau tapi tidak dibalas. Semoga dia segera mendapatkan kerja yang lebih layak, amin!
Ketika seseorang memasuki sebuah kantor, tugas seorang Bos untuk menjamin bahwa kita akan nyaman bekerja di bawah kepemimpinannya. Kita butuh upah dari dia, dia butuh tenaga kita, hal yang sudah lumrah. Tapi lama kelamaan, rasa nyaman itu terkikis sedikit demi sedikit. Bos yang baik seharusnya bisa mengembalikan rasa nyaman bekerja bawahannya, idealnya sih begitu. Namun, Bos juga manusia biasa, segala hal di dunia ini punya batas, termasuk rasa nyaman tadi.
Terkadang membangun rasa nyaman, terkadang orang lain menyapa kita dengan kata sapaan (bahasa pokem) agar kita seolah telah dekat dengan mereka padahal mungkin saja baru kenal, seperti beberapa teman di kantor juga. “Beib”, “Ciiint”, juga “Sayang”, saya sendiri tak biasa dan ogah mengobral sapaan seperti itu. Entahlah, kata-kata itu jadi bergeser makna setelah terlalu sering ‘disalahgunakan’. Besok-besok, kita akan berkelahi/tawuran dengan sapaan itu juga. Aneh sih, tapi mungkin saja terjadi. Semua bisa bilang sayang, kayak lagu yah. Eh, coba dengarkan “Semua Bisa Bilang Sayang” versi Balawan (hallah, kok malah promo?).
Ada yang pergi ada pula yang datang, untuk sementara ini saya masih bisa menghadirkan rasa nyaman itu. Namun, nasib teman sekantor tadi bisa saja menimpa diri saya sendiri juga. Ada terbersit keinginan untuk latah, nyaleg saja, tapi kemudian saya teringat pendapat teman, katanya saya sulit tersenyum di depan kamera, lah, bagaimana mau kepilih kalau tidak bisa pajang senyum, mungkin saya pasang emoticon saja yak! Hahaha…
Jadi ingat, saya di sekolah pernah beberapa kali jadi provokator karena benci kepada beberapa guru, bahkan kepala sekolah. Kurang ajar yah saya, ahahahah… Tapi saya hanya berhasil menggalang tenaga paling banyak tiga orang. Gak bisa demo dengan tenaga minim seperti itu, yang berhasil saya lakukan dan beberapa teman hanya meneror Pembina yang bersangkutan. Pernah bikin nangis guru, dua kali, sekali di smp, sekali di sma.
Tapi yang terakhir, saya pernah benci sama Kepala Sekolah saya sendiri. Pernah satu kali kami bolos, keliaran di dalam sekolah karena tidak ada guru. Seketika dia datang, kami berhamburan masuk kelas termasuk saya. Sementara ada beberapa teman yang ‘berkuping tebal’ tetap berdiri di taman. Di giringnya teman-teman masuk kelas satu-satu, seperti anak kecil yang dituntun. Kemudian, di depan kelas, mulutnya menamai kami dengan nama binatang. Saya sangat benci terhadap sikap kepsek saya saat itu.
Tapi saya tidak bisa apa-apa. Teman-teman yang punya andil di kelas kebanyakan anak bangsawan, kepsek saya itu dibilang dekat dengan bangsawan, bahkan ada kebijaksanaannya yang membuat saya bingung, ‘anak arung’ yang hampir menghilangkan nyawa seorang guru terbaik di sma itu dengan gampangnya naik kelas. Bahkan saya mempertanyakan lagi kebangsawanan adik kelas saya itu, orang tuanya seharusnya malu punya embel-embel Andi di depan namanya.
Kebangsawanan, sepertinya itu pulalah yang membuat teman-temanku enggan menerima sepenuhnya pendapatku untuk membenci kepsek. Arung dari kecil dituntun oleh orangtuanya untuk sopan santun, tidak bicara keras, memuliakan orang lain. Berlebihan memberlakukan aturan baku tersebut membuat banyak bangsawan mengubur kekritisannya.
Jadi saya tak bisa apa-apa selain memaklumi kepsek yang baru menjabat di sekolahku baru setahun saat itu, apalagi saya teringat cerita Bapakku sendiri ketika menolak ditawari olehnya menjadi Ketua Komite. Sehingga tak aneh lagi bagi saya, ketika keputusan membangun masjid sekolah padahal sudah ada masjid yang berdiri di depan sekolah. Dia pun berlindung pada hadis Nabi untuk menghalalkan keputusan aneh itu, ketika seorang muslim tiba pada suatu tempat maka perbuatan yang paling mulia baginya adalah membangun masjid. Ya Allah, maafkan dia!
Baiklah, itu saja dulu curhatan/demo saya, berdo’a di lanjutkan! Jika banyak yang mencaci kalian berdo’a di socmed, abaikan saja, itu hak kalian. Bukan hanya kalian yang salah karena cengeng dan kelihatan ‘salah tempat’, mereka juga salah kok, perhatian banget mereka sama kalian yang masang status kayak gitu. Kalau Tuhan enggan mengabulkan do’a itu, paling tidak ada si nyinyir tadi yang dengar. Tuhan tidak butuh bikin akun di FB atau twitter untuk mengetahui apa isi doa di statusmu, dia (si nyinyir) yang manusia biasa bisa baca statusmu apalagi Tuhan yang Maha Mengetahui. Ini seperti mempermasalahkan, mengapa sinetron yang tokoh-tokohnya bisa pakek kata “dalam hati”, itu hak sutradaranya. Tapi tak apalah mereka yang nynyir hadir, paling tidak kita bisa berfikir, dan akhirnya kita bisa memilih untuk tetap “bodoh” atau menjadi “cerdas”.
Berdo’a dilanjutkan kembali…. Karena sudah terlalu panjang, maka ini doa terakhir di note ini. Hindarkanlah kami dari bos yang koro-koroang*. Amin!
Nb : Dibikin untuk turut memeriahkan demo buruh yang sudah berlangsung kurang lebih dua pekan ini.
* Koro-koroang (Makassar) : khawatir berlebihan
Rabu, 24 Juli 2013
Ramadan 2013
Label:
curhat picisan,
neting,
peta
Saya tidak tahu persis mengapa di Bulan Juli ini kantor kebanjiran job survey produk susu formula untuk anak-anak (bayi). Ini lumayan berat dijalani apalagi Juli ini bertepatan dengan bulan puasa. Sebagian tenaga yang dulunya terkenal suka memborong banyak job tiba-tiba serempak jadi "ngoyo" padahal para supervisor sedang tercekik banyak deadline.
Ketika masih dalam tahap survey "mayoritas", kalangan menengah ke bawah, interviewer akan merasa sangat terbantu dengan responden yang kooperatif. Kalau istilah di kantor, mereka ini dikelompokkan ke dalam kelas ses C. Mereka dengan senang hati menerima. Bukannya menuduh mereka memang matre atau tidak tulus, mereka kebanyakan percaya bahwa tamu itu pembawa rezki.
Namun berbeda halnya jika interviewer mendapat tugas untuk survey produk bermerk premium (lebih mahal). Kebanyakan yang mengkonsumsi produk semacam ini adalah masyarakat secara ekonomi kalangan atas, yang dikelompokkan dalam ses A/ses B. Ciri-cirinya : rumah bagus, luas dan besar. Kemudian selidiki halamannya, apakah si mpunya rumah punya mobil.
Ciri-ciri tambahan yang membuat interviewer biasa putus asa di lapangan adalah pada umumnya mereka menolak untuk diwawancarai. Banyak hal negatif yang tiba-tiba menggerayangi pikiran mereka. Jika mereka kebetulan ada di halaman, dua meter Anda menuju rumahnya, mereka sudah memandang Anda penuh curiga.
Sebenarnya mereka tak perlu repot menutup pintu, pagar mereka rapat dan tinggi sehingga tak memberi celah untuk mengintip. Saya tidak mau mencela mereka, itu hanya sebagai wujud rasa was-was mereka, apalagi kami harus sampai minta nomor hp sebagai bekal callback untuk yang bertugas mengecek kualitas kerja kami, bahwa responden yang kami wawancari bukan tokoh fiktif bikinan interviewer. Bisa dibayangkan, betapa banyak nomor hp yang membuat kami harus kerja dua kali karena nomor hp yang diberikan responden tidak bisa dihubungi atau salah sambung (bukan nomor hp yang sebenarnya si responden).
Begitulah kira-kira suka-dukanya. Begitupun bulan Ramadan, tiba-tiba banyak peminta-minta/pengemis. Itu artinya kaum pemalas semakin meningkat, tapi paling tidak mereka sudah berusaha walau panas/hujan. Saya tak hanya membaca ini sebagai fenomena yang negatif. Dengan masih adanya pengemis, ini juga bisa berarti baik, bahwa banyak dari kita yang masih mau memberi.
Ketika masih dalam tahap survey "mayoritas", kalangan menengah ke bawah, interviewer akan merasa sangat terbantu dengan responden yang kooperatif. Kalau istilah di kantor, mereka ini dikelompokkan ke dalam kelas ses C. Mereka dengan senang hati menerima. Bukannya menuduh mereka memang matre atau tidak tulus, mereka kebanyakan percaya bahwa tamu itu pembawa rezki.
Namun berbeda halnya jika interviewer mendapat tugas untuk survey produk bermerk premium (lebih mahal). Kebanyakan yang mengkonsumsi produk semacam ini adalah masyarakat secara ekonomi kalangan atas, yang dikelompokkan dalam ses A/ses B. Ciri-cirinya : rumah bagus, luas dan besar. Kemudian selidiki halamannya, apakah si mpunya rumah punya mobil.
Ciri-ciri tambahan yang membuat interviewer biasa putus asa di lapangan adalah pada umumnya mereka menolak untuk diwawancarai. Banyak hal negatif yang tiba-tiba menggerayangi pikiran mereka. Jika mereka kebetulan ada di halaman, dua meter Anda menuju rumahnya, mereka sudah memandang Anda penuh curiga.
Sebenarnya mereka tak perlu repot menutup pintu, pagar mereka rapat dan tinggi sehingga tak memberi celah untuk mengintip. Saya tidak mau mencela mereka, itu hanya sebagai wujud rasa was-was mereka, apalagi kami harus sampai minta nomor hp sebagai bekal callback untuk yang bertugas mengecek kualitas kerja kami, bahwa responden yang kami wawancari bukan tokoh fiktif bikinan interviewer. Bisa dibayangkan, betapa banyak nomor hp yang membuat kami harus kerja dua kali karena nomor hp yang diberikan responden tidak bisa dihubungi atau salah sambung (bukan nomor hp yang sebenarnya si responden).
Begitulah kira-kira suka-dukanya. Begitupun bulan Ramadan, tiba-tiba banyak peminta-minta/pengemis. Itu artinya kaum pemalas semakin meningkat, tapi paling tidak mereka sudah berusaha walau panas/hujan. Saya tak hanya membaca ini sebagai fenomena yang negatif. Dengan masih adanya pengemis, ini juga bisa berarti baik, bahwa banyak dari kita yang masih mau memberi.
Minggu, 28 April 2013
Serasa Ingin Membakar Sesuatu
Label:
artikel siluman,
curhat picisan,
neting
Terima kasih atas kutukan ini. Jika ada kutukan yang malah bikin minder, justru kutukan ini sebaliknya, bikin gengsi.
Kalau tidak dapat kutukan ini, saya mungkin sudah jadi tukang cuci piring di sebuah restoran atau tukang sapu jalanan. Kemampuan saya dikekang oleh selembar kertas, saya tidak bisa apa-apa.
Kamis, 11 April 2013
cita-citaku
Label:
curhat picisan,
neting
Masih nganggur, utang sana-sini. Tapi kalau lagi kurang beruntung (saya menyebutnya "nasib tumpul"), semua teman baik juga lagi bokek, otomatis tidak dapat pinjaman uangnya.
Sudah beberapa teman yang mengatakan saya akhir-akhir ini seperti motivator, kalau teman masang status curhat saya tiba-tiba sok bijak di kolom kementar. Begitulah, jika orang lain terlilit masalah, kita hanyalah Mario Teguh. Bila teman butuh uang dua puluh juta rupiah, maka kita hanya akan bisa mengatakan "manajemen waktulah dan bekerjalah dengan giat serta fokus!" dan bla.. bla.. bla..
Kau menjadi apa yang kau tidak suka selama ini. Tiba-tiba, menjadi motivator itu lebih bagus (maksud saya, menggiurkan secara materi). Baiklah, list dibuka.
Sudah beberapa teman yang mengatakan saya akhir-akhir ini seperti motivator, kalau teman masang status curhat saya tiba-tiba sok bijak di kolom kementar. Begitulah, jika orang lain terlilit masalah, kita hanyalah Mario Teguh. Bila teman butuh uang dua puluh juta rupiah, maka kita hanya akan bisa mengatakan "manajemen waktulah dan bekerjalah dengan giat serta fokus!" dan bla.. bla.. bla..
Kau menjadi apa yang kau tidak suka selama ini. Tiba-tiba, menjadi motivator itu lebih bagus (maksud saya, menggiurkan secara materi). Baiklah, list dibuka.
DAFTAR CITA-CITA
no. 9816 >>> menjadi MOTIVATOR
Minggu, 17 Maret 2013
FUN. itu TIGA juga
Label:
curhat picisan,
musik,
neting,
teman
Ada Nate dengan gaya menyanyi yang dibuat mengenaskan.
Andrew, yang mahir memainkan berbagai alat musik.
Yang ketiga, Jack yang selalu terlihat lucu (di mata saya).
Saya seperti mendengar QUEEN versi modern.
Saya seperti mendengar QUEEN versi modern.
Saya dari dulu suka angka 3. Banyak hal ajaib yang berhasil kutangkap pada jumlah ketiga, walau tak sampai mengkultuskan angka 3, kali ini melepaskan gelar Mbak Dukun sejenak. Ketika mengenal Beatles, lalu kepercayaan itu sedikit bergeser, 4 itu ajaib juga.
Mungkin angka satu juga (malah lebih) ajaib, seperti Tuhan Yang Maha Esa. Tapi bagiku angka satu itu sepi, seperti lagu "angka satu"nya Caca Handika. Tuhan, apakah Kau kesepian? Jangan sampai Engkau kesepian, apalagi banyak do'a-do'a dan keluhan yang pasti meramaikan "telinga"Mu.
Saya perempuan biasa, selayaknya perempuan, sepertinya butuh lebih banyak teman daripada laki-laki yang punya banyak ruang sepi yang mereka ciptakan. Laki-laki, mungkin butuh rokok atau kopi untuk memulai sebuah percakapan tapi perempuan hanya perlu bibir untuk bergosip dengannya sesama perempuan.
Bertemu beberapa teman spesial, mimpi itu sepertinya dekat dengan kenyataan. Tapi yah sudahlah, saya ngantuk, silakan tidur di tempat tidur Anda masing-masing, karena mimpi itu tempatnya yah dalam tidur. Di saat kepanasan, kita tidak akan berkumpul dan membayangkan matahari itu adalah buah jeruk raksasa yang justru menyegarkan. Tak ada lagi agenda memanen bintang di malam hari, semuanya tempatnya hanya di mimpi...
Gak nyambung! Menyimak video FUN. di atas bikin saya malah tambah rindu pada sebuah keadaan: bertiga.
Senin, 16 Juli 2012
LINGKARAN
Label:
artikel siluman,
buku,
ideologi sotta',
neting,
poting,
sok bijak,
sok ilmiah
![]() |
Diagram piramida, bukan soal kuantitas, tapi kualitas kecerdasan. |
![]() |
Lingkaran, hubungan IDIOT dan JENIUS |
Bagaimana Eropa menggulirkan isu lingkungan ini agar kita senantiasa ‘mengerti’ alam, kemudian kita mencoba untuk menanam pohon dan memeliharanya. Tapi, pemerintah dan beberapa pihak masih saja melewatkan (atau sengaja?) bahkan mengacuhkan oknum-oknum yang mengeksploitasi secara berlebihan. Kita yang setengah mati menanam dan menjaga, merekalah yang memanen untuk kepentingan dompet mereka. Yang jelas bagi saya, menjaga lingkungan adalah tugas kita bersama. Kalau mereka yang cerdas namun pesimis dan ‘cuek’, ada semacam kecerdasan yang mubazir/terbuang percuma, tapi kembali lagi itu hak mereka.
Kebanyakan orang optimis itu, selalu berpikir kalau bisa menularkan keoptimisannya kepada orang lain. Mengutip berbagai macam kalimat para motivator agar bisa mengubah si pesimis, seperti cahaya yang melabrak kegelapan, akhirnya cahaya itu sekedar lewat, ada yang berhasil tapi lebih banyak yang sia-sia. Memangnya jadi pesimis itu selamanya ‘nyampah’? Beberapa bulan lalu, saya iseng mencari, adakah seseorang yang bangga dengan kepesimisan. Memang tak ada yang secara gamblang mengatakan dirinya lebih cenderung pesimis tapi ada kalimat yang lumayan membuat saya bersyukur :
Orang optimis dan pesimis sama pentingnya.
Orang optimis membuat kapal, orang pesimis membuat pelampung.
(Pepatah Cina)
Orang optimis membuat kapal, orang pesimis membuat pelampung.
(Pepatah Cina)
Begitulah dunia diciptakan, kita tidak bisa
menerima hanya putih, namun ada juga hitam dan kemungkinan besar datang pula
abu-abu. Kita tak bisa memilih hanya satu saja, kita harus menerima ‘satu paket’
hidup ini. Kita bisa menawarkan berbagai hal kepada orang lain, namun kita tak
bisa memaksakannya. Seperti A yang mencintai B, namun B belum tentu
punya perasaan yang sama kepada A. Bagaimana kalau B ternyata lebih mencintai
si C, dan begitulah seterusnya. Konon, kita akan menerima kebaikan yang telah
kita lakukan di masa lalu, memang klise. Klise, karena memang itulah yang akan
terjadi. Saling mencintailah atau punah, nasehat Prof. Morrie kepada Mitch Albom (Buku SELASA BERSAMA MORRIE).

Rabu, 11 Juli 2012
BUKAN DONGENG
Label:
artikel siluman,
fiksi,
keluarga,
neting,
sok bijak
Tak tahukah Mak Malin
Kundang kalau seorang Ibu yang sabar menasehati anaknya akan lebih
mudah masuk surga daripada harus mengutuk anaknya jadi batu? Jadi soleh, atau sekalian salah pun anak kalian, tetap kalian akan masuk syurga jika kalian menyikapinya dengan baik, wahai orang tua negeri dongeng!
Tidak suka sekali dengan orang dewasa yang mudah sekali mencap seseorang 'durhaka', mudah sekali mereka mengatakan hal-hal seperti itu, memperdayai beberapa anaknya agar jadi penurut, 'anak manis'. Belum puas menyalahgunakan cap 'durhaka' itu, setelahnya akan ada umpatan 'keras kepala' dan lain-lain lagi.
Mereka tak akan melunak lagi, mereka akan terus keras, mereka telah kalian kutuk jadi batu!
Tidak suka sekali dengan orang dewasa yang mudah sekali mencap seseorang 'durhaka', mudah sekali mereka mengatakan hal-hal seperti itu, memperdayai beberapa anaknya agar jadi penurut, 'anak manis'. Belum puas menyalahgunakan cap 'durhaka' itu, setelahnya akan ada umpatan 'keras kepala' dan lain-lain lagi.
Mereka tak akan melunak lagi, mereka akan terus keras, mereka telah kalian kutuk jadi batu!
Kamis, 14 Juni 2012
GENGSI
Label:
curhat picisan,
kartun,
musik,
neting
Teman-teman lainnya mungkin telah mengambil sertifikat penambahan namanya masing-masing karena telah dua bulan berlalu setelah nama kami bertambah panjang dengan dua huruf tersebut. Orang tua telah beberapa kali menegur untuk pergi mengambil ijazah saya sedang skripsi ini tak kusentuh sekalipun, seribu lembar omongkosong yang harus dipermak sehingga kelihatan seperti kebenaran.
Saya tidak tahu, mengapa malah semakin memandang diri ini payah dengan kesarjanaan itu? Kebanyakan orang bangga memperlihatkannya, konon selembar itu sangat berguna untuk melamar pekerjaan. Saya malah melihatnya, orang-orang itu telah lebih mengandalkan ijazahnya, bukan dirinya-sendiri. Tidak pede memperkenalkan dirinya dengan ‘iSayah’--- “ini loh saya!” tanpa embel apa-apa.
Setelah mengambil ijazah, agenda terbesar selanjutnya pastilah mencari pekerjaan. Yang paling mudah, memasukkan lamaran ke sebuah (berkedok) perusahaan (malah) jadi sales atau di bank. Jika beruntung sedikit, kita bisa diterima sebagai sales mereka, dengan dibekali brosur tentang fitur-fitur terbaru di bank kemudian menawarkannya kepada orang-orang. Jika beruntung banyak, maksudnya fisik terbilang ‘good-looking’, Anda bisa dipekerjakan di bank, menghitung uang yang disetor dan dikeluarkan melalui kasir.
Dan saya tak memandang lagi, ijazah penting bagi mereka, mereka… pajangan. Maaf yah, ini pendapat saya. Kalau soal menghitung, tanteku yang sudah tua dan hanya lulusan MTs lebih jago menghitung daripada mereka. Kalau soal sales, saya lebih senang menyaksikan penjual obat di pasar atau di depan sebuah deretan ruko. Kita bisa melihat pertunjukan di sana, daripada seorang yang mendatangi Anda di waktu tidur siang dan dengan seperti terpaksa berkata ‘Maaf, bisa mengganggu sebentar? Saya ingin menawarkan blablablabla…”. Dua-duanya memang punya kemungkinan untuk menipu, paling tidak yang satunya menghibur yang satunya lagi bikin bosan.
Berbicara mengenai bosan, saya pun bosan dikira lebih cerdas daripada orang-orang kampung yang tidak pernah sekolah tinggi. Bosan dicap bodoh oleh seorang tanteku yang mengatakan “Kau, hanya mengalahkan saya dalam hal sekolah. Kau, tidak tahu apa-apa!”. Yah, tanteku itu benar. Yang kulakukan dari dulu, hanyalah sekolah, di rumah belajar, jika ada waktu luang bermain. Menjadi benci ke dapur selain untuk makan, jadi tahunya makan saja. Adakah istilah ‘pendidikan yang berlebihan’?, Jika ada, maka hal inilah saya rasa menciderai keperempuanan sekarang.
Saya merindukan zaman-zaman sekolah saya, saya berteman justru dengan orang yang tergolong bukan pintar dan kurang populer, bahkan nakal. Ini seperti menyaksikan Spongebob dalam dirimu, dan teman-temanmu semuanya adalah Patrick. Sesekali membolos atau membuat menangis seorang guru. Membuktikan bahwa diri ini tak sempurna itu asyik dan seru. Sebagaimana, semua orang tidak bisa kau paksakan untuk menyukaimu, dan seperti itulah saya melihat seorang ‘ranking seumur hidup’ dalam kelas-kelas yang saya lalui. Jadi ranking satu, bisa jadi kebanggaan keluarga dan semua orang, tapi jadi nakal, hanya kaulah seorang yang merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘brengsek’.
Saya senang mengirim surat waktu masih sekolah. Sayang, daerah saya jauh dari ibukota kabupaten, tukang posnya sepertinya malas menyampaikan langsung jika saya punya surat balasan. Setelah dua-tiga minggu surat-surat untuk saya baru sampai di tangan saya melalui pegawai Kantor Kecamatan yang kebetulan ada tugas ke desa saya. Saat itu, saya bercita-cita ingin jadi tukang pos, yang ikhlas mengantarkan surat-surat sesuai dengan alamatnya. Saya ingin melihat seorang ibu yang senang ketika saya menjulurkan kepadanya sebuah surat dari anaknya dari pulau seberang dan sebagainya, semacam itulah. Sederhana saja! Tapi internet yang sekarang justru kugandrungi pula, telah menggeser posisi Kantor Pos. Saya sebenarnya ingin tahu, siapa-siapa saja yang masih mengandalkan jasa pos, pasti orang-orang kuno, saya jadi ingin mengenal mereka, tapi biayanya mahal sedangkan bualan ini berasal dari seorang pengangguran yang kere.
Cita-cita yang lain, daripada jadi orang kantoran yang merasa punya tempat kerja yang elit dan melimpah akan fasilitas canggih namun membosankan, saya pernah juga membayangkan mengabdikan diri menjadi tukang sapu jalanan. Bangun pagi, masih sepi, terang masih malu-malu muncul di ujung timur sana dan gemerisik sapu menjadi soundtrack setiap pagi. Menjadi tukang sapu jalanan lebih mulia bagi saya daripada jadi orang yang menutup hidung ketika kebetulan bertemu dengan mobil truk pengangkut sampah.
Dimasa-masa menikmati menganggur ini, saya berfikir untuk menumbuhkan lagi beberapa cita-cita lama saya tersebut, yang di atas itu hanya dua di antaranya. Tapi sayang, saya sudah terlanjur ‘merasa eksklusif’, karena pernah kuliah, akan mendapat ijazah, tak pantas dan rugi jika melakukan hal-hal sederhana seperti itu. Saya bosan jadi eksklusif, ini seperti menyanyikan lagu Like A Rolling Stone, berhasil menampar semua orang tapi mereka justru lebih cepat sembuh daripada tanganmu yang telah menampar banyak pipi.
Mungkin, saya pun harus berhenti merendahkan para alay. Apa yang salah dengan mereka? Apakah sebuah dosa jika menjadi alay? Ini masalah selera, jika mereka senang hati menyanyikan lagu-lagu band instan, lirik-lirik cengeng, atau meniru dandanan girlband di televisi mengapa kita yang sewot? Mengapa kita yang harus gerah? Kita tak mungkin memaksa mereka untuk menikmati hal-hal yang lebih berkelas (menurut kita). Soal kualitas suara, kita tidak bisa menimpakan kesalahan pada artis yang sering lipsync di acara musik karena jika tidak demikian, biaya yang dikeluarkan oleh stasiun televisi untuk menampilkan suara asli dari sang penyanyi akan lebih banyak. Saya merasa, kita telah terlalu mendzalimi mereka.
Karena Dion Indonesian Idol mengjazzkan “Sik Asik”nya Ayu Ting-Ting, kemudian kita menilai versi dangdut koplonya jadi terdengar murahan. Jika mereka lebih suka Ayu Ting-Ting yang meriah dan ceria, kita tidak bisa memaksa mereka untuk suka versi Dion yang lebih groovy dan glamour. Ini masalah selera. Saya tidak tahu mengakhiri tulisan saya yang ini…
Saya tidak tahu, mengapa malah semakin memandang diri ini payah dengan kesarjanaan itu? Kebanyakan orang bangga memperlihatkannya, konon selembar itu sangat berguna untuk melamar pekerjaan. Saya malah melihatnya, orang-orang itu telah lebih mengandalkan ijazahnya, bukan dirinya-sendiri. Tidak pede memperkenalkan dirinya dengan ‘iSayah’--- “ini loh saya!” tanpa embel apa-apa.
Setelah mengambil ijazah, agenda terbesar selanjutnya pastilah mencari pekerjaan. Yang paling mudah, memasukkan lamaran ke sebuah (berkedok) perusahaan (malah) jadi sales atau di bank. Jika beruntung sedikit, kita bisa diterima sebagai sales mereka, dengan dibekali brosur tentang fitur-fitur terbaru di bank kemudian menawarkannya kepada orang-orang. Jika beruntung banyak, maksudnya fisik terbilang ‘good-looking’, Anda bisa dipekerjakan di bank, menghitung uang yang disetor dan dikeluarkan melalui kasir.
Dan saya tak memandang lagi, ijazah penting bagi mereka, mereka… pajangan. Maaf yah, ini pendapat saya. Kalau soal menghitung, tanteku yang sudah tua dan hanya lulusan MTs lebih jago menghitung daripada mereka. Kalau soal sales, saya lebih senang menyaksikan penjual obat di pasar atau di depan sebuah deretan ruko. Kita bisa melihat pertunjukan di sana, daripada seorang yang mendatangi Anda di waktu tidur siang dan dengan seperti terpaksa berkata ‘Maaf, bisa mengganggu sebentar? Saya ingin menawarkan blablablabla…”. Dua-duanya memang punya kemungkinan untuk menipu, paling tidak yang satunya menghibur yang satunya lagi bikin bosan.
Berbicara mengenai bosan, saya pun bosan dikira lebih cerdas daripada orang-orang kampung yang tidak pernah sekolah tinggi. Bosan dicap bodoh oleh seorang tanteku yang mengatakan “Kau, hanya mengalahkan saya dalam hal sekolah. Kau, tidak tahu apa-apa!”. Yah, tanteku itu benar. Yang kulakukan dari dulu, hanyalah sekolah, di rumah belajar, jika ada waktu luang bermain. Menjadi benci ke dapur selain untuk makan, jadi tahunya makan saja. Adakah istilah ‘pendidikan yang berlebihan’?, Jika ada, maka hal inilah saya rasa menciderai keperempuanan sekarang.
Saya merindukan zaman-zaman sekolah saya, saya berteman justru dengan orang yang tergolong bukan pintar dan kurang populer, bahkan nakal. Ini seperti menyaksikan Spongebob dalam dirimu, dan teman-temanmu semuanya adalah Patrick. Sesekali membolos atau membuat menangis seorang guru. Membuktikan bahwa diri ini tak sempurna itu asyik dan seru. Sebagaimana, semua orang tidak bisa kau paksakan untuk menyukaimu, dan seperti itulah saya melihat seorang ‘ranking seumur hidup’ dalam kelas-kelas yang saya lalui. Jadi ranking satu, bisa jadi kebanggaan keluarga dan semua orang, tapi jadi nakal, hanya kaulah seorang yang merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘brengsek’.
Saya senang mengirim surat waktu masih sekolah. Sayang, daerah saya jauh dari ibukota kabupaten, tukang posnya sepertinya malas menyampaikan langsung jika saya punya surat balasan. Setelah dua-tiga minggu surat-surat untuk saya baru sampai di tangan saya melalui pegawai Kantor Kecamatan yang kebetulan ada tugas ke desa saya. Saat itu, saya bercita-cita ingin jadi tukang pos, yang ikhlas mengantarkan surat-surat sesuai dengan alamatnya. Saya ingin melihat seorang ibu yang senang ketika saya menjulurkan kepadanya sebuah surat dari anaknya dari pulau seberang dan sebagainya, semacam itulah. Sederhana saja! Tapi internet yang sekarang justru kugandrungi pula, telah menggeser posisi Kantor Pos. Saya sebenarnya ingin tahu, siapa-siapa saja yang masih mengandalkan jasa pos, pasti orang-orang kuno, saya jadi ingin mengenal mereka, tapi biayanya mahal sedangkan bualan ini berasal dari seorang pengangguran yang kere.
Cita-cita yang lain, daripada jadi orang kantoran yang merasa punya tempat kerja yang elit dan melimpah akan fasilitas canggih namun membosankan, saya pernah juga membayangkan mengabdikan diri menjadi tukang sapu jalanan. Bangun pagi, masih sepi, terang masih malu-malu muncul di ujung timur sana dan gemerisik sapu menjadi soundtrack setiap pagi. Menjadi tukang sapu jalanan lebih mulia bagi saya daripada jadi orang yang menutup hidung ketika kebetulan bertemu dengan mobil truk pengangkut sampah.
Kakek RERE dalam Serial Kartun BAKABON |
Dimasa-masa menikmati menganggur ini, saya berfikir untuk menumbuhkan lagi beberapa cita-cita lama saya tersebut, yang di atas itu hanya dua di antaranya. Tapi sayang, saya sudah terlanjur ‘merasa eksklusif’, karena pernah kuliah, akan mendapat ijazah, tak pantas dan rugi jika melakukan hal-hal sederhana seperti itu. Saya bosan jadi eksklusif, ini seperti menyanyikan lagu Like A Rolling Stone, berhasil menampar semua orang tapi mereka justru lebih cepat sembuh daripada tanganmu yang telah menampar banyak pipi.
Mungkin, saya pun harus berhenti merendahkan para alay. Apa yang salah dengan mereka? Apakah sebuah dosa jika menjadi alay? Ini masalah selera, jika mereka senang hati menyanyikan lagu-lagu band instan, lirik-lirik cengeng, atau meniru dandanan girlband di televisi mengapa kita yang sewot? Mengapa kita yang harus gerah? Kita tak mungkin memaksa mereka untuk menikmati hal-hal yang lebih berkelas (menurut kita). Soal kualitas suara, kita tidak bisa menimpakan kesalahan pada artis yang sering lipsync di acara musik karena jika tidak demikian, biaya yang dikeluarkan oleh stasiun televisi untuk menampilkan suara asli dari sang penyanyi akan lebih banyak. Saya merasa, kita telah terlalu mendzalimi mereka.
Karena Dion Indonesian Idol mengjazzkan “Sik Asik”nya Ayu Ting-Ting, kemudian kita menilai versi dangdut koplonya jadi terdengar murahan. Jika mereka lebih suka Ayu Ting-Ting yang meriah dan ceria, kita tidak bisa memaksa mereka untuk suka versi Dion yang lebih groovy dan glamour. Ini masalah selera. Saya tidak tahu mengakhiri tulisan saya yang ini…
Senin, 02 April 2012
HP POLIPONIKKU dan BLACKBERRYMU*
Label:
artikel siluman,
curhat picisan,
fiksi,
neting,
teman
Mencarimu kemana-mana, satu per satu pintu kubuka, di mana kita pernah bahkan sering bertemu, namun tidak ada kau di dalamnya. Saya pun percaya, saya tak butuh alamat untuk menemukanmu, saya percaya itu! Saat saya atau kau membutuhkan, kita akan menjadi kita tanpa butuh arah dimanakah terletak 'kita' itu.
Tapi, mungkin saya telah menjadi sosok yang membosankan bagimu. Pintu-pintu 'kesamaan' kita telah habis. Yang tersisa tinggallah pintu yang akan membuka perbedaan kita. Itu mungkin niat baik darimu agar kita sebisa mungkin tak pernah bertemu di sana karena pintu selanjutnya mungkin saja pintu-pintu kebencian. Baiklah, silakan kau menerka-nerka.
Kita kehabisan lelucon, kita setengahmati menghabiskan topik-topik serius yang bertebaran selama kita berkenalan. Kau mungkin lelah mengenalku, atau sama sekali justru tak mengenalku?
Saya, ingin melanjutkan mencarimu, tapi mungkin kau tak ingin ditemukan olehku. Kau menemukan dirimu bersama orang lain. Saya hanya bisa apa selain maklum? Itu hal terbaik yang kulakukan untukmu dalam keadaan kita yang seperti ini.
*Judul macam apa ini?
Tapi, mungkin saya telah menjadi sosok yang membosankan bagimu. Pintu-pintu 'kesamaan' kita telah habis. Yang tersisa tinggallah pintu yang akan membuka perbedaan kita. Itu mungkin niat baik darimu agar kita sebisa mungkin tak pernah bertemu di sana karena pintu selanjutnya mungkin saja pintu-pintu kebencian. Baiklah, silakan kau menerka-nerka.
Kita kehabisan lelucon, kita setengahmati menghabiskan topik-topik serius yang bertebaran selama kita berkenalan. Kau mungkin lelah mengenalku, atau sama sekali justru tak mengenalku?
Saya, ingin melanjutkan mencarimu, tapi mungkin kau tak ingin ditemukan olehku. Kau menemukan dirimu bersama orang lain. Saya hanya bisa apa selain maklum? Itu hal terbaik yang kulakukan untukmu dalam keadaan kita yang seperti ini.
*Judul macam apa ini?
Selasa, 28 Februari 2012
C sepasi D, ya ampuun!
Label:
curhat picisan,
ideologi sotta',
neting,
teman
Ada seorang teman, yang begitu bersinar di komunitas tulis-baca di makassar, sangat saya kagumi, saya hormat kepadanya, tapi sepertinya begitulah bintang adanya :P Kita tak perlu mendekatinya, kita hanya butuh melihatnya dari jauh. Semakin dekat maka kita akan semakin tahu kejelekannya. Celaka, saya sekarang justru semakin tahu celah-celahnya sebagai manusia, caranya bersikap kepada orang lain. Tapi itulah dia, yang membangun dunianya, bukankah saya juga begitu. Sayalah yang melihat dunia, bukan memikirkan bagaimana dunia berpendapat tentang saya. Jadi, yah sudahlah, selama puisi-puisinya masih bisa dinikmati, sampai di situ sajalah.
Ada seorang teman, beberapa teman, yang membuat saya gregetan. Mereka yang selama ini jadi 'figuran', jarang yang jadi pemeran utama, setelah mencoba berinteraksi dengan mereka, saya menggerutu "Sial, mengapa bukan orang ini saja yang eksis? Mengapa harus si narsis, si sombong, si angkuh itu yang harus selalu menang?" Ataukah orang-orang yang jauh lebih cerdas ini telah merasa cukup berada di belakang "sang utama", yang tak berhenti bekerja mendongkrak nama si pemenang? Dibalik keesklusifan beberapa orang ternyata banyak orang yang jauh lebih cerdas mengalah. Sangat disayangkan, tapi itulah yang harus terjadi! Mereka menerima untuk mundur, lebih banyak bekerja dan berfikir walau tak terlalu didengar dan diperhatikan. Merekalah yang berusaha sedangkan pemenang tinggal "dadah-dadah" saja diiringi tepuktangan keriuhan yang mengidolakannya. Membuat saya berfikir, saya tak harus selalu fokus terhadap apa yang telah dilakukan sang pemenang untuk mencapai puncak, tapi siapa-siapa yang dikalahnya, yang ada kemungkinan justru merekalah yang lebih hebat.
Ada seorang teman, tempatku mendiskusikan hal-hal di atas. Kalah menang ternyata hanya waktu, itu siklus. Kalah dan menang memang kita rasakan tak berbanding jumlahnya, kita merasa lebih banyakan harus mengalah daripada menang. Teman yang menang ini, yang selama ini selalu eksis sekarang hidupnya jadi parasit, karena selama ini kemenangan yang dibuatnya justru kerja teman-temannya di belakang, yaitu pihak "yang kalah", yang tak butuh eksis. Saat komunitas mereka berada di posisi sekarat, semua orang menyelamatkan dirinya masing-masing terbukti siapa yang bisa bertahan. Semua orang mengerahkan kekuatannya untuk tetap ada, jadi mereka telah ditempa dengan berbagai kesusahan. So, yang tugasnya 'melambaikantangan', pekerjaan seperti itu apa masih ada gunanya saat mendekati bangkrut?
Yang berproseslah yang bertahan. Yang tidak berproses dan memiliki tendensi pribadi tidak akan kuat bertahan. Begitulah, sms ini menyudahi percakapan tadi malam, itulah kesimpulan temanku, yang sekaligus menjadi kesimpulanku juga.
Masih ada (lagi) seorang teman yang sudah lama tak bertemu selalu mengirimi sms penyemangat. Saya tak menyangka dia masih menyimpan nomor saya. Sayang sekali, smsnya tidak bisa meresap di hati saya. Saya merasa lebih efektif bekerja daripada harus capek-capek membaca dan menghayati apa isi smsnya, yang juga jadi isi statusnya di facebook. Hati saya kayak abege saja selalu menggerutu "capek deh!" tiap kali ada sms darinya. Tapi tak apalah, jika itu kesenangan buatnya.
Ada seorang teman, beberapa teman, yang membuat saya gregetan. Mereka yang selama ini jadi 'figuran', jarang yang jadi pemeran utama, setelah mencoba berinteraksi dengan mereka, saya menggerutu "Sial, mengapa bukan orang ini saja yang eksis? Mengapa harus si narsis, si sombong, si angkuh itu yang harus selalu menang?" Ataukah orang-orang yang jauh lebih cerdas ini telah merasa cukup berada di belakang "sang utama", yang tak berhenti bekerja mendongkrak nama si pemenang? Dibalik keesklusifan beberapa orang ternyata banyak orang yang jauh lebih cerdas mengalah. Sangat disayangkan, tapi itulah yang harus terjadi! Mereka menerima untuk mundur, lebih banyak bekerja dan berfikir walau tak terlalu didengar dan diperhatikan. Merekalah yang berusaha sedangkan pemenang tinggal "dadah-dadah" saja diiringi tepuktangan keriuhan yang mengidolakannya. Membuat saya berfikir, saya tak harus selalu fokus terhadap apa yang telah dilakukan sang pemenang untuk mencapai puncak, tapi siapa-siapa yang dikalahnya, yang ada kemungkinan justru merekalah yang lebih hebat.
Ada seorang teman, tempatku mendiskusikan hal-hal di atas. Kalah menang ternyata hanya waktu, itu siklus. Kalah dan menang memang kita rasakan tak berbanding jumlahnya, kita merasa lebih banyakan harus mengalah daripada menang. Teman yang menang ini, yang selama ini selalu eksis sekarang hidupnya jadi parasit, karena selama ini kemenangan yang dibuatnya justru kerja teman-temannya di belakang, yaitu pihak "yang kalah", yang tak butuh eksis. Saat komunitas mereka berada di posisi sekarat, semua orang menyelamatkan dirinya masing-masing terbukti siapa yang bisa bertahan. Semua orang mengerahkan kekuatannya untuk tetap ada, jadi mereka telah ditempa dengan berbagai kesusahan. So, yang tugasnya 'melambaikantangan', pekerjaan seperti itu apa masih ada gunanya saat mendekati bangkrut?
Yang berproseslah yang bertahan. Yang tidak berproses dan memiliki tendensi pribadi tidak akan kuat bertahan. Begitulah, sms ini menyudahi percakapan tadi malam, itulah kesimpulan temanku, yang sekaligus menjadi kesimpulanku juga.
Masih ada (lagi) seorang teman yang sudah lama tak bertemu selalu mengirimi sms penyemangat. Saya tak menyangka dia masih menyimpan nomor saya. Sayang sekali, smsnya tidak bisa meresap di hati saya. Saya merasa lebih efektif bekerja daripada harus capek-capek membaca dan menghayati apa isi smsnya, yang juga jadi isi statusnya di facebook. Hati saya kayak abege saja selalu menggerutu "capek deh!" tiap kali ada sms darinya. Tapi tak apalah, jika itu kesenangan buatnya.
Jumat, 24 Februari 2012
SEPERTI APA DEWASA ITU?
Label:
curhat picisan,
keluarga,
neting
“Dia itu masih kekanak-kanakan!”
Saya selalu diam, saya telah lama menganggap semua masalah yang muncul tak penting untuk kalian ketahui, saya berusaha bisa mengambil keputusan sendiri atas masalah saya sendiri dan akan mempertanggungjawabkan resikonya. Mengapa kalian datang dan menuntut ini-itu? Susah-susah saya merencanakan menikmati ‘penyesalan’, menerima diri apa adanya, lalu tiba-tiba kalian datang, membagi tugas, menambah daftar tuhan yang harus kutaati, menunjukkan jalan yang baik menurut kalian. Tiba-tiba ada yang jadi sok pahlawan, yang membuatku merasa tidak penting bahkan bagi kisahku sendiri. Yah ini memang kisah hidup saya, tapi lagi-lagi orang lainlah pahlawannya, saya tetap jadi pemeran figuran bahkan bagi kisah hidup saya sendiri, saya melulu jadi pihak yang ditolong. Cwih! Orang-orang yang merasa terpuji, mendapatkan pengakuan kelakuan baik dari semua. Apakah itu dewasa, jika tak mengijinkan orang lain menyesal akan apa yang telah dipilihnya? Kalian semua, orang tua yang kekanak-kanakan, terus-terusanlah menua dengan pikiran-pikiran kerdil kalian.
“Semoga dia bisa belajar dan menyelesaikan masalahnya sendiri!”
Yah, saya siap dengan segala konsekuensi pilihan saya sendiri, tapi justru kalian telah membuat diri ini seperti anak-anak yang tangannya selalu ditarik kemana-mana, digiring ke arah kalian yang mau. Bukankah itu sama saja dengan menganggap saya anak-anak, mendidik saya untuk tetap menjadi anak-anak. Agh, saya memang selalu anak-anak bagi kalian walau saya telah capek dianggap seperti itu, sayangnya tak ada tuhan yang capek karena menjadi tuhan memang menyenangkan.
SAYA MAU DEWASA, TAPI KALIANLAH YANG MEMAKSA SAYA TERUS-TERUSAN JADI ANAK-ANAK!!!
Cwiiiiiiiiiiiiiiiiiiih!
Sabtu, 11 Februari 2012
wahai tuhan-tuhanku
Label:
artikel siluman,
curhat picisan,
fiksi,
neting
![]() |
http://pupp37ma573r.deviantart.com/art/Marionette-201225798 |
Karena kenyataan ini adalah seburuk-buruknya mimpi, maka saya menyatakan tak berani lagi bermimpi. Semua orang sudah susah payah menunjukkan "harus apakah saya?", jadi untuk apa saya bermimpi lagi, buang-buang emosi saja. Maka silakan, hambamu ini akan membangunkanmu surga dimana lagi 't'uhan-'t'uhanku?
Jumat, 27 Januari 2012
MELENGKAPI NAMA
Label:
artikel siluman,
buku,
curhat picisan,
kematian,
neting,
pete-pete,
poting,
teman
Nama yang diberikan saat kita lahir selalu tidak lengkap, harus ada dr. (di depan) ataukah mis. ST (di belakang). Banyak orang merayakannya, tapi sungguh saya malah merasa makin tidak becus. Mungkin harus menambah lagi, gelar yang digariskan tuhan nanti, alm. Saya telah merasa lengkap untuk mati! Walau bagi banyak orang saya bukan sosok yang lengkap, saya tidak bisa menghargai (kata dosen), saya tidak bisa manis di depan mereka (kata saudara), mungkin saya harus belajar kepada si MUKA mALAYkat, seorang mahasiswi teman seangkatanku di fakultas. Dia begitu mudah memajang tampang manis depan dosen, seperti orang tidak berdosa, tapi justru itulah saya tidak menyukainya. Sedangkan saya, mungkin bagi beberapa dosen saya hanya perempuan misterius, si kurang kerjaan yang mengisi waktunya dengan kuliah.
Sms-sms selamat datang, tapi saya tidak tahu apa yang harus dirayakan. Tiba-tiba seorang saudara menambahkan "sayang" di smsnya ketika menyapaku setelah dosen-dosen di meja ujian menambahkan nama saya dengan dua huruf itu.
Saya enggan pulang, saya tidak mau pulang disambut sebagai pahlawan. Saya merasa seperti Zuko yang tidak tahu mengapa orang menyambutnya sebagai pahlawan negara api karena telah berhasil memusnahkan Aang. Dalam hatinya dia justru merasa tidak berguna. Seperti itulah kira-kira, ada yang dalam dirimu yang tak kau mengerti apa itu.
Seorang sahabat yang telah lama tidak bertemu, saya menghubunginya karena setelah beberapa kali lewat UNM, tempatnya kuliah, kemarin baru sadar kalau sedang ada bangunan 'keren' didirikan di sana, lebih artistik dari Baruga A.P. Pettarani punya Unhas. Hem, saya pikir boleh juga. Tujuan saya sebenarnya waktu itu ke MP buat nonton Film Jerman, tapi lagi-lagi saya tersesat di mall, ke mall mah palingan ke gramedia. Hehe. Dapat buku komik HIDUP ITU INDAH!nya AJI PRASETYO yang udah kebuka, jadilah ngakak dulu dan kelupaan kalau sebenarnya ke MP tuh buat nonton.
Oh yah kembali ke temanku tadi. Dia bilang itu namanya MENARA PINISI,nantinya tempat seluruh administrasi UNM berpusat nantinya. Masih dalam tahap pembangunan, tapi nilai arsitekturnya sudah kelihatan. Semoga gak 'sombong' setelahnya, pendidik tak boleh sombong, jika dia sombong dia akan sukar menularkan kecerdasannya :)
Alangkah bodohnya mata ini, karena begitu banyak kepentingan jadi sudah lupa meluangkan waktu untuk menikmati sekitar. Saya jadi ingat, kami berdua pas SMA. Saya adalah orang yang sungguh mengaguminya karena kesederhanaannya, sedangkan dia suka ketika saya tiba-tiba sok bijak di depannya. Saya sering menuliskan banyak kata-kata penyemangat di buku diarynya setelah dia curhat, yah kami punya buku curhat, bergilirian untuk menulisinya.
Ah, ingin sekali kukatakan padanya semua yang kutulis adalah omong kosong belaka karena saya sampai hari ini tidak becus ngapa-ngapain. Sedangkan dia sekarang telah bekerja, padahal dia yunior, dua tahun lebih muda dari saya. Tapi saya menganggapnya sahabat, kami telah terlanjur nyambung, tak peduli dia lebih mudah ataukah lebih tua.
Yah, saya merasa begitu sibuk akhir-akhir ini. Sering bolak-balik ke fotokopyan, tapi baru kemarin nyadar kalau mace yang sudah nenek-nenek yang di kantin ekonomi sudah meninggal, saya yang mencoba mencari tahu dari yang pegawai fotocopy . Saat saya bertanya dalam hati saya berharap dia belum datang atau hanya sakit, tapi mereka menjawab "dia sudah meninggal sebelum lebaran haji" dan berapa lama saya tak sadar, saya telah lama tidak menoleh dan bertukar senyum dengannya? Inna lillah, semoga beliau diterima dengan baik di sisi-NYA.
Kesibukan-kesibukan ini, yang saya lakukan agar merasa penting justru membuat saya jadi sebaliknya. Saya jadi lupa menyadari hal-hal kecil, tentang Menara Pinisi yang begitu menggugah saya walau hanya saya pandang dari pete-pete, tentang mace tua yang sudah lama tak jualan lagi atau tentang senyum-senyum 'politik' yang sudah mulai menjarah pinggir-pinggir jalan. Setelah semua itu, saya masih merasa tidak penting! Omong kosong belaka... ya sudah, segitu sajalah namaku, saya tak mau menambahnya lagi.
Sms-sms selamat datang, tapi saya tidak tahu apa yang harus dirayakan. Tiba-tiba seorang saudara menambahkan "sayang" di smsnya ketika menyapaku setelah dosen-dosen di meja ujian menambahkan nama saya dengan dua huruf itu.
Saya enggan pulang, saya tidak mau pulang disambut sebagai pahlawan. Saya merasa seperti Zuko yang tidak tahu mengapa orang menyambutnya sebagai pahlawan negara api karena telah berhasil memusnahkan Aang. Dalam hatinya dia justru merasa tidak berguna. Seperti itulah kira-kira, ada yang dalam dirimu yang tak kau mengerti apa itu.
Seorang sahabat yang telah lama tidak bertemu, saya menghubunginya karena setelah beberapa kali lewat UNM, tempatnya kuliah, kemarin baru sadar kalau sedang ada bangunan 'keren' didirikan di sana, lebih artistik dari Baruga A.P. Pettarani punya Unhas. Hem, saya pikir boleh juga. Tujuan saya sebenarnya waktu itu ke MP buat nonton Film Jerman, tapi lagi-lagi saya tersesat di mall, ke mall mah palingan ke gramedia. Hehe. Dapat buku komik HIDUP ITU INDAH!nya AJI PRASETYO yang udah kebuka, jadilah ngakak dulu dan kelupaan kalau sebenarnya ke MP tuh buat nonton.
Oh yah kembali ke temanku tadi. Dia bilang itu namanya MENARA PINISI,nantinya tempat seluruh administrasi UNM berpusat nantinya. Masih dalam tahap pembangunan, tapi nilai arsitekturnya sudah kelihatan. Semoga gak 'sombong' setelahnya, pendidik tak boleh sombong, jika dia sombong dia akan sukar menularkan kecerdasannya :)
![]() |
MENARA PHINISI - UNM |
Alangkah bodohnya mata ini, karena begitu banyak kepentingan jadi sudah lupa meluangkan waktu untuk menikmati sekitar. Saya jadi ingat, kami berdua pas SMA. Saya adalah orang yang sungguh mengaguminya karena kesederhanaannya, sedangkan dia suka ketika saya tiba-tiba sok bijak di depannya. Saya sering menuliskan banyak kata-kata penyemangat di buku diarynya setelah dia curhat, yah kami punya buku curhat, bergilirian untuk menulisinya.
Ah, ingin sekali kukatakan padanya semua yang kutulis adalah omong kosong belaka karena saya sampai hari ini tidak becus ngapa-ngapain. Sedangkan dia sekarang telah bekerja, padahal dia yunior, dua tahun lebih muda dari saya. Tapi saya menganggapnya sahabat, kami telah terlanjur nyambung, tak peduli dia lebih mudah ataukah lebih tua.
Yah, saya merasa begitu sibuk akhir-akhir ini. Sering bolak-balik ke fotokopyan, tapi baru kemarin nyadar kalau mace yang sudah nenek-nenek yang di kantin ekonomi sudah meninggal, saya yang mencoba mencari tahu dari yang pegawai fotocopy . Saat saya bertanya dalam hati saya berharap dia belum datang atau hanya sakit, tapi mereka menjawab "dia sudah meninggal sebelum lebaran haji" dan berapa lama saya tak sadar, saya telah lama tidak menoleh dan bertukar senyum dengannya? Inna lillah, semoga beliau diterima dengan baik di sisi-NYA.
Kesibukan-kesibukan ini, yang saya lakukan agar merasa penting justru membuat saya jadi sebaliknya. Saya jadi lupa menyadari hal-hal kecil, tentang Menara Pinisi yang begitu menggugah saya walau hanya saya pandang dari pete-pete, tentang mace tua yang sudah lama tak jualan lagi atau tentang senyum-senyum 'politik' yang sudah mulai menjarah pinggir-pinggir jalan. Setelah semua itu, saya masih merasa tidak penting! Omong kosong belaka... ya sudah, segitu sajalah namaku, saya tak mau menambahnya lagi.
Kamis, 12 Januari 2012
JADI HAKIM
Label:
curhat picisan,
neting
Tujuh tahun belajar hukum, ternyata orang-orang di sana memang dididik jadi hakim. Pada dasarnya semua orang adalah hakim, termasuk saya sendiri, sayangnya saya (pulalah) tersangka satu-satunya.
NDA' BECUSSSSSSSSMU JADI ORANG, NAY!
NDA' BECUSSSSSSSSMU JADI ORANG, NAY!
Langganan:
Postingan (Atom)