You have so many relationships in this life
Only one or two will last
You go through all this pain and strife
Then you turn your back and they're gone so fast
And they're gone so fast
So hold on to the ones who really care
In the end they'll be the only ones there
When you get old and start losing your hair
Can you tell me who will still care?
Yaelah, Hanson lagi, maaf… maaf… lagi musim Hanson di telingaku, salam Mmmbop, ehehehe. Seperti petikan lirik di atas, kita bisa menjalin
hubungan dengan banyak orang, kita berharap semuanya berjalan lancar, kita
berusaha mempertahankannya. Tapi di luar dugaan, kita akan tersandung banyak
masalah yang membuat satu atau bahkan lebih hubungan yang kita jalin akan
renggang, semua usai sampai hanya tertinggal satu atau dua.
Sudah setahun bekerja di tempat kerja, sampai tiba pada waktu rasa teraneh
yang pernah kualami dan beberapa teman alami juga. Seorang atasan terbaik,
lumayan ngemong kepada kami berhenti. Sudah sebulan tidak ada gelak ngakaknya
memecah suasana serius kala rapat. Sms ancaman “deadline” darinya tidak akan
ada lagi, saya sebenarnya sms beliau tapi tidak dibalas. Semoga dia segera
mendapatkan kerja yang lebih layak, amin!
Ketika seseorang memasuki sebuah kantor, tugas seorang Bos untuk menjamin
bahwa kita akan nyaman bekerja di bawah kepemimpinannya. Kita butuh upah dari
dia, dia butuh tenaga kita, hal yang sudah lumrah. Tapi lama kelamaan, rasa
nyaman itu terkikis sedikit demi sedikit. Bos yang baik seharusnya bisa
mengembalikan rasa nyaman bekerja bawahannya, idealnya sih begitu. Namun, Bos
juga manusia biasa, segala hal di dunia ini punya batas, termasuk rasa nyaman
tadi.
Terkadang membangun rasa nyaman, terkadang orang lain menyapa kita dengan
kata sapaan (bahasa pokem) agar kita seolah telah dekat dengan mereka padahal
mungkin saja baru kenal, seperti beberapa teman di kantor juga. “Beib”,
“Ciiint”, juga “Sayang”, saya sendiri tak biasa dan ogah mengobral sapaan
seperti itu. Entahlah, kata-kata itu jadi bergeser makna setelah terlalu sering
‘disalahgunakan’. Besok-besok, kita akan berkelahi/tawuran dengan sapaan itu
juga. Aneh sih, tapi mungkin saja terjadi. Semua bisa bilang sayang, kayak lagu
yah. Eh, coba dengarkan “Semua Bisa Bilang Sayang” versi Balawan (hallah,
kok malah promo?).
Ada yang pergi ada pula yang datang, untuk sementara ini saya masih bisa
menghadirkan rasa nyaman itu. Namun, nasib teman sekantor tadi bisa saja
menimpa diri saya sendiri juga. Ada terbersit keinginan untuk latah,
nyaleg saja, tapi kemudian saya teringat pendapat teman, katanya
saya sulit tersenyum di depan kamera, lah, bagaimana mau kepilih kalau tidak
bisa pajang senyum, mungkin saya pasang emoticon saja yak! Hahaha…
Jadi ingat, saya di sekolah pernah beberapa kali jadi provokator karena
benci kepada beberapa guru, bahkan kepala sekolah. Kurang ajar yah saya,
ahahahah… Tapi saya hanya berhasil menggalang tenaga paling banyak tiga orang.
Gak bisa demo dengan tenaga minim seperti itu, yang berhasil saya lakukan dan
beberapa teman hanya meneror Pembina yang bersangkutan. Pernah bikin nangis
guru, dua kali, sekali di smp, sekali di sma.
Tapi yang terakhir, saya pernah benci sama Kepala Sekolah saya sendiri.
Pernah satu kali kami bolos, keliaran di dalam sekolah karena tidak ada guru.
Seketika dia datang, kami berhamburan masuk kelas termasuk saya. Sementara ada
beberapa teman yang ‘berkuping tebal’ tetap berdiri di taman. Di giringnya
teman-teman masuk kelas satu-satu, seperti anak kecil yang dituntun. Kemudian,
di depan kelas, mulutnya menamai kami dengan nama binatang. Saya sangat benci
terhadap sikap kepsek saya saat itu.
Tapi saya tidak bisa apa-apa. Teman-teman yang punya andil di kelas
kebanyakan anak bangsawan, kepsek saya itu dibilang dekat dengan bangsawan,
bahkan ada kebijaksanaannya yang membuat saya bingung, ‘anak arung’ yang hampir
menghilangkan nyawa seorang guru terbaik di sma itu dengan gampangnya naik
kelas. Bahkan saya mempertanyakan lagi kebangsawanan adik kelas saya itu, orang
tuanya seharusnya malu punya embel-embel Andi di depan namanya.
Kebangsawanan, sepertinya itu pulalah yang membuat teman-temanku enggan
menerima sepenuhnya pendapatku untuk membenci kepsek. Arung dari kecil dituntun
oleh orangtuanya untuk sopan santun, tidak bicara keras, memuliakan orang lain.
Berlebihan memberlakukan aturan baku tersebut membuat banyak bangsawan mengubur
kekritisannya.
Jadi saya tak bisa apa-apa selain memaklumi kepsek yang baru menjabat di
sekolahku baru setahun saat itu, apalagi saya teringat cerita Bapakku sendiri
ketika menolak ditawari olehnya menjadi Ketua Komite. Sehingga tak aneh lagi
bagi saya, ketika keputusan membangun masjid sekolah padahal sudah ada masjid
yang berdiri di depan sekolah. Dia pun berlindung pada hadis Nabi untuk menghalalkan
keputusan aneh itu, ketika seorang muslim tiba pada suatu tempat maka perbuatan
yang paling mulia baginya adalah membangun masjid. Ya Allah, maafkan dia!
Baiklah, itu saja dulu curhatan/demo saya, berdo’a di lanjutkan! Jika banyak
yang mencaci kalian berdo’a di socmed, abaikan saja, itu hak kalian. Bukan
hanya kalian yang salah karena cengeng dan kelihatan ‘salah tempat’, mereka
juga salah kok, perhatian banget mereka sama kalian yang masang status kayak
gitu. Kalau Tuhan enggan mengabulkan do’a itu, paling tidak ada si nyinyir tadi
yang dengar. Tuhan tidak butuh bikin akun di FB atau twitter untuk mengetahui
apa isi doa di statusmu, dia (si nyinyir) yang manusia biasa bisa baca statusmu
apalagi Tuhan yang Maha Mengetahui. Ini seperti mempermasalahkan, mengapa
sinetron yang tokoh-tokohnya bisa pakek kata “dalam hati”, itu hak
sutradaranya. Tapi tak apalah mereka yang nynyir hadir, paling tidak kita bisa
berfikir, dan akhirnya kita bisa memilih untuk tetap “bodoh” atau menjadi
“cerdas”.
Berdo’a dilanjutkan kembali…. Karena sudah terlalu panjang, maka ini doa
terakhir di note ini. Hindarkanlah kami dari bos yang koro-koroang*. Amin!
Nb : Dibikin untuk turut memeriahkan demo buruh yang sudah berlangsung
kurang lebih dua pekan ini.
* Koro-koroang (Makassar) : khawatir berlebihan