Tampilkan postingan dengan label sok ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sok ilmiah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Mei 2015

MERASA

Kalau ke tempat kerja, senior bilang ''Ko kurusan, Nay. Diet ko, dek?'' Saya hanya membalasnya ''Iyakah, kak? Gak diet, bukan saya sekali!'' Yah, siklus tubuh enam bulan ini agak menyebalkan. Akhir bulan kalau bukan pertengahan bulan ditengok penyakit. Sigh... Jadi tahanan kamar, gak bisa kemana-mana, padahal tiap hari keluyuran kemana-mana, menyusuri belantara Makassar ini.

Sakitnya sih hanya sehari, tapi penyembuhannya itu makan waktu dua hari, Bos di tempat kerja ngomel karena tugas-tugas sudah deadline. Belum lagi dengan perubahan pola makan habis sakit, dari lambung yang kosong melompong karena gak nafsu makan ketika sakit, setelah sembuh harus dipaksa dengan porsi normal seperti biasanya, alhasil itu gas di lambung mengamuk.

Menyebalkan, karena kurus bukan karena diet, bukan karena usaha, tapi karena malas jaga kesehatan. Tapi kayaknya dari dulu gak doyan ma diet-diet, apalagi ada tuh yang lagi trend, food combining, banyakan makan buah ma sayur daripada hewani ma karbohidrat, agak mirip vegetarian yah, dimana bedanya food combining ini ma vegetarian, silakan Anda cari sendiri ya... Lagian kalau saya pikir-pikir, dua hal ini pola makan bangsa timur yah? Kayak di Jepang, makannya banyak sayur. Biksu juga hanya makan protein nabati tanpa hewani, orang Barat dan Eropa sana mencoba dan menerapkannya dan ternyata terbukti lebih menyehatkan, diberi merk bahasa Inggris jadinya kedengaran ''wah'' gitu yak, piss yah buat penggiat vegan ma food combining, ini hanya opini saya, ini hanya opini saya. Gak peduli siapa yang pertamakali menerapkannya, kalau itu menyehatkan kenapa tidak. Saya saja yang malas, karena saya fikir bagaimana kalau yang kerja berat kayak kuli makan sayur ma buah doang, kalau lapar di siang hari pastilah mereka harus makan, tapi yah sudahlah, ini kan sesuai porsi kebutuhan energi mereka.

Memang sih, sudah beberapa orang yang bilang saya kurusan, teman kerja (yang saya ceritakan di atas), seorang tante, seorang lagi sepupu, hallah, belum cukup lima sih, gitu aja bangga, belum valid tuh... Tapi merasa agak kurusan sih.

MERAAAASSAAAA atauuuu PERASAANMU SAAAJAAA, Nay??? *sudahlah, mungkin mereka lelah*

Kamis, 14 November 2013

DUGEM DANGDUT

Jika tiba pada lampu merah di Patung Ayam Daya, bosan rasanya mendengar lagu "dulluu dulluu dulluu" dimainkan oleh pengamen cilik yang main gitar pun masih tak karuan. Tapi tiba-tiba mereka punya lagu baru, yang sebenarnya lagu yang sudah sangat lama. Seorang atau dua orang anak menghafal lirik-lirik awal Cinta Mulia-nya Koes Plus yang bergenre dangdut. Terpaksa saya memberi anak tersebut selembar 2000an kepadanya, ahahaha! Konon, Koes Plus berhasil lepas dari bayang-bayang The Beatles, justru ketika musik mereka ada sentuhan melayu dan dangdutnya.

Musik Iwan Fals juga pernah bernuansa dangdut pada lagu Sunatan Massal dan Potret Panen Hama Wereng. Dangdut, memang dicap kampungan. Liriknya to the point, lebih frontal, entah itu mengenai seorang lelaki yang masih mengharapkan jandanya untuk kembali, atau tentang seorang kekasih yang mencari kuburan pacarnya yang telah meninggal. Lirik-lirik yang aneh jika dipasangkan ke dalam musik pop, sepertinya semua genre musik "gengsi" untuk dipasangkan dengan lirik dangdut. Semua lagu bisa didangdutkan namun lagu dangdut belum tentu bisa diubah menjadi musik dengan genre baru.

Dangdut, ibunya dari musik India dengan pengaruh Melayu. Akhirnya, saya bisa ikhlas The Beatles tidak pernah ke Indonesia. Belajar musik rakyat Indonesia yah sama saja kalau belajar musik India. Hehehe. Dengan label "musik merakyat" itu pulalah, dangdut sering digunakan untuk meramaikan sebuah acara, terutama untuk keperluan kampanye. Namun harus disadari, dangdut hanya alat. Jika Anda punya hp kamera, tujuannya untuk memotret pemandangan atau merekam saat Anda telanjang lalu hp kamera menjadi terlarang? Tidak, kan? Kamera hanya fasilitas, yang menggunakannya ya itu Anda.

Saya hadir bukan sebagai pahlawan, tidak ada keinginan untuk membela dangdut, bukan... Saya bisa dibilang penikmat segala jenis musik, jika itu cocok di telinga dan saya bisa menikmati, maka saya akan dengar. Di penglihatan saya, dangdut sama saja dengan genre lain. Sekumpulan orang berkumpul di depan sebuah panggung dan mereka menikmatinya. Di masa depan, mungkin saja kampanye-kampanye itu hadir di diskotik, akan ada DJ saweran, bisa saja terjadi. Orang kampungan depresi larinya ke dangdutan, orang kota mengusir stres dengan main ke diskotik. Jadi, sama saja kan? Ahahahah...

Jumat, 23 November 2012

KELIRU

Saya pernah memandang jendela dan menyaksikan turun salju di sana. Diam-diam mendoakan kalau teori perubahan iklim itu akan benar-benar kejadian.

Tapi, mungkin saya yang salah. Perubahan iklim bisa berarti semakin panjang (atau sebaliknya) sebuah musim (kemarau-hujan untuk Indonesia). Meski tak menutup kemungkinan, perubahan iklim bisa saja tak mengenai itu.

Perubahan iklim tak sama dengan "pertukaran iklim", eh bisa saja terjadi sih!

Selasa, 09 Oktober 2012

Masa Depan Jendela

Suatu hari nanti, jendela bukan lagi sesuatu yang harus dibuka-tutup. Dia hanya sebuah monitor besar yang menempel pada dinding. Semua hunian tak butuh lagi ventilasi, rumah hanya berbentuk kotak yang sudah cukup dengan jendela digital.

Kau bisa membukanya hanya dengan menyentuhnya, seperti I-Pad tahun 2000an. Atur gambar yang ditampilkan sesuai selera. Jika kau menginginkan berada di sebuah kapal selam, maka jendela itu seolah berisi air yang luas, ikan-ikan berenang di sana, ada pula ikan yang mencium jendelamu, ingin menyentuhmu.

Ada pula waktunya, kau ingin sebuah suasana romantis sesegera mungkin. Kau bisa mensetnya, membuat suasana Kota Paris zaman Revolusi Industri, ketika semua orang masih lalu lalang dengan jas panjang melewati lutut untuk melawan dingin, para wanita tampak cantik dengan gaun vintage mereka. Kau melompati zaman...

Dari jendela, kau bisa melihat Menara Effiel hanya beberapa kilometer. Menara itu menjulang berpancar warna kuning ketika malam, puncaknya seperti ingin menyobek gaun kelam langit malam itu. Padahal Menara Effiel yang asli sudah dijangkiti lumut, tempat daun-daun merambat bermimpi menjadi pohon.


Rabu, 08 Agustus 2012

DIGUSUR

http://multiply.com/info/we-are-sorry


Hah, ini belum lebaran, kok sudah ada yang minta maaf. Saya rasa, ini hanya taktik dari pihak MULTIPLY sendiri, jadi berita ini HOAX besaaaaar! Kek Film 2012 ajah. *menghiburdirisendiri* Kita lihat, setelah adanya pengumuman ini, orang berbondong-bondong nengokin akunnya di MP. *sokpengamat*

Senin, 16 Juli 2012

LINGKARAN

Memandang bulan sabit itu, terkadang melihatnya seperti sebuah bibir yang tersenyum. Namun, suatu saat pula dia jungkir-balik, bibir itu cemberut. Serupa menikmati indahnya warna-warna pelangi, kita tak bisa memberi batas antara warna yang satu dengan yang lainnya. Seperti saat kita demam, tubuh kita tak seluruhnya berasa hangat. Demam mengiris-ngiris tubuh kita dalam bagian tubuh yang panas dan dingin, dan kita tak tahu di titik tubuh bagian manakah suhu netral itu berada. Kita berselimut untuk mengusir gigil, di sisi lain ada panas yang serasa ingin meledak dari dalam tubuh kita.

Seperti saya, yang akhir-akhir ini justru tak bisa membedakan antara jenius dan idiot. Banyak orang yang beranggapan bahwa jenius itu tingkat kecerdasan yang paling atas, sedangkan yang paling di bawah itu idiot. Tingkah laku orang-orang (yang katanya) jenius dan orang (katanya) idiot tak ada lagi bedanya bagi saya. Kemudian, di dalam kepalaku, idiot dan jenius bukan lagi mempunyai hubungan ‘lawan’, mereka adalah dua orang yang bergandengan tangan dengan tingkat kecerdasan lain membentuk lingkaran.



Diagram piramida, bukan soal kuantitas, tapi kualitas kecerdasan.



Lingkaran, hubungan IDIOT dan JENIUS



Saya pun kemudian khawatir, tak bisa membedakan antara tulus dan bodoh. Ketika mayoritas Ilmuwan Eropa yakin bahwa perubahan iklim itu benar-benar terjadi, yang lebih dikenal dengan istilah global warming, banyak aktivis lingkungan kemudian muncul menyerukan untuk peduli kepada alam dan lingkungan. Namun ada beberapa orang (yang konon lebih cerdas) percaya bahwa itu hanya konspirasi saja, bukan berarti saya menganggap diri saya cerdas, tidak. Saya punya pendapat sendiri tentang isu global warming ini.

Bagaimana Eropa menggulirkan isu lingkungan ini agar kita senantiasa ‘mengerti’ alam, kemudian kita mencoba untuk menanam pohon dan memeliharanya. Tapi, pemerintah dan beberapa pihak masih saja melewatkan (atau sengaja?) bahkan mengacuhkan oknum-oknum yang mengeksploitasi secara berlebihan. Kita yang setengah mati menanam dan menjaga, merekalah yang memanen untuk kepentingan dompet mereka. Yang jelas bagi saya, menjaga lingkungan adalah tugas kita bersama. Kalau mereka yang cerdas namun pesimis dan ‘cuek’, ada semacam kecerdasan yang mubazir/terbuang percuma, tapi kembali lagi itu hak mereka.

Kebanyakan orang optimis itu, selalu berpikir kalau bisa menularkan keoptimisannya kepada orang lain. Mengutip berbagai macam kalimat para motivator agar bisa mengubah si pesimis, seperti cahaya yang melabrak kegelapan, akhirnya cahaya itu sekedar lewat, ada yang berhasil tapi lebih banyak yang sia-sia. Memangnya jadi pesimis itu selamanya ‘nyampah’? Beberapa bulan lalu, saya iseng mencari, adakah seseorang yang bangga dengan kepesimisan. Memang tak ada yang secara gamblang mengatakan dirinya lebih cenderung pesimis tapi ada kalimat yang lumayan membuat saya bersyukur :

Orang optimis dan pesimis sama pentingnya.
Orang optimis membuat kapal, orang pesimis membuat pelampung. 
(Pepatah Cina)



Ini, lebih dari Cinta Segi Tiga? Cinta Segi Banyak? :D



Begitulah dunia diciptakan, kita tidak bisa menerima hanya putih, namun ada juga hitam dan kemungkinan besar datang pula abu-abu. Kita tak bisa memilih hanya satu saja, kita harus menerima ‘satu paket’ hidup ini. Kita bisa menawarkan berbagai hal kepada orang lain, namun kita tak bisa memaksakannya. Seperti A yang mencintai B, namun B belum tentu punya perasaan yang sama kepada A. Bagaimana kalau B ternyata lebih mencintai si C, dan begitulah seterusnya. Konon, kita akan menerima kebaikan yang telah kita lakukan di masa lalu, memang klise. Klise, karena memang itulah yang akan terjadi. Saling mencintailah atau punah, nasehat Prof. Morrie kepada Mitch Albom (Buku SELASA BERSAMA MORRIE).




 Ini Bunga Kupu-Kupu atau kupu-kupu yang dikutuk jadi bunga?

Selasa, 19 Juni 2012

KLAIM

Jam sepuluh malam, baru tiba di rumah. Begitulah tiap hari, semua orang di rumah sudah terlelap. Lapar dan mengantuk, padahal tidak ada makanan yang tersedia. Alangkah beruntungnya tikus yang terdengar mengais-ngais di bawah lemari tiap malam, dia kesana kemari mencari makanan, bagi saya merekalah “pemakan segala” sejati, sabun, kertas, semua diembat. Tapi kemudian saya kecewa, mendapatkan fakta bahwa tikus adalah hewan pengerat, dalam artian mereka punya gigi seri yang terus bertumbuh. Jika tidak sering menggigit maka gigi tersebut ukurannya akan tidak seimbang dengan tubuh  mereka malah bisa-bisa menyakiti tubuh mereka sendiri. Jadi teringat ponakan-ponakanku, saya selalu pura-pura jadi tikus kalau tiba-tiba ada sesuatu yang menginterupsi lelap tidurnya.

Jam sepuluh malam, dengan gontai saya merapikan mobil satu persatu. Remang-remang cahaya, kuberfikir sambil memegang mobil mini mainan ponakanku. Seandainya mobil ini sungguhan, saya tak perlu lagi beli mp3 player untuk menyingkirkan gonggongan anjing depan kompleks, tak butuh lagi jalan buru-buru karena berisik akan petikan gitar para remaja di jalan kompleks, saya tak perlu ditatap dengan penuh curiga oleh penjual nasi goreng, seolah saya bertanggungjawab atas semua kejelekan yang dilekatkan pada malam. Salahkan para pencuri, salahkan para hidung belang, salahkan para pelaku pelecehan seksual yang mengeksploitasi gelap untuk berulah, bukan sayaaaa! Dan… saya tak perlu menyetop beberapa pete-pete yang sopirnya menggeleng saat saya bertanya “Sudiang, Pak?”. Tapi jika saya punya mobil yang saya kemudikan sendiri, maka saya tak bisa lagi tidur di perjalanan dan nanti terbangun ketika pete-petenya bergoyang melalui jalan yang buruk rupa, yang kalau hujan menyerupai empang. Jika jalanan sudah terasa melalui ombak, maka tak salah lagi, kompleks tempatku tinggal sudah dekat.




Ketika jam sepuluh malam, apa yang salah dengan Sudiang? Sebegitu terpencilnyakah sampai-sampai seorang teman bercanda kepada saya “Du, jauhmu dek! Jauh dari peradaban memang tempatmu tinggal.” Saya hanya bisa tersenyum saja, tak bisa tertawa karena bagaimanapun saya telah bernafas di sini selama tujuh tahun terakhir. Seolah Sudiang itu area aneh, menghilang setelah jam sepuluh malam. Saya tidak bisa banyak bekerja di rumah karena banyak pengganggu, terutama dua ponakan yang sepertinya selalu percaya netbookku ini mempunyai daerah rahasia untuk menyembunyikan berbagai hal kesukaan mereka, entah gambar SpongeBob dan kawan-kawannya, iklan lucu, video klip kartun dan semacamnya. Monitor netbookku sudah seperti kepala yang manggut-manggut jika dibuka akibat keanarkisan mereka. Tempat paling aman dan nyaman untuk bekerja yakni di warkop yang ada fasilitas wi-finya. Karena saya masih menganggur, saya berusaha menghemat, dari yang tadinya sangat menyukai cappuccino dingin kini berusaha belajar menyenangi kopi hitam. Mau diapalagi, itulah menu yang paling murah. Orang kaya memesan menu yang paling enak, orang kere memesan menu yang paling murah, begitu kan? Asyik juga ternyata, racikan kopi ala warkop langganan saya lebih pekat daripada yang biasa saya bikin di rumah, lumayan pahit dan justru karena rasanya itulah saya tidak bisa meneguknya seketika itu pula habis.

Akhir-akhir ini jadi sering-sering nonton berita gara-gara Liga EURO, maklum manusia-manusia yang bermukim di rumahku tidak ramah bagi orang yang hobi begadang jadi saya hanya kebagian beritanya saja di keesokan harinya. JERMAN, saya percaya, saya menonton ataupun tidak menonton, kalian (harus) menang!Dua-tiga hari ini, Indonesia gempar lagi akan berita diklaimnya Tari Tor-Tor oleh Malaysia sebagai warisan budaya. Saya kemudian berfikir, tak maukah Malaysia mengklaim Sudiang sebagai wilayahnya? Sayang, Sudiang bukan area perbatasan padahal ada GOR atau Bandara Hasanuddin yang bisa membuatnya menonjol. Hahaha, saya selalu mengira saya sedang berada di sebuah daerah konflik ketika ada pesawat yang lewat di atas kami. Serasa ingin teriak “tiaraaaaaaap!” seperti di film-film perang, serasa masih zaman penjajahan. Suatu malam, saya berharap ada sekelompok alien yang mengamati Sudiang ini dari planet mereka, sebuah daerah ajaib tempatnya akan mendarat kemudian mengklaim daerah ini. Sudiang akan sangat bersinar di malam hari jika dilihat dari atas langit karena bergelimangan teknologi canggih sehingga membuat daerah lainnya iri. Hoaaahm. Maaf, saya mengantuk!

Selasa, 15 November 2011

Mari Memeluk Pohon

Save The Tree, salah satu episode Shaun The Sheep yang membuat pikiranku lumayan terjarah dibandingkan episode yang lain. Membuat saya teringat kepala sekolahku waktu sekolah dasar, tempatku menyalurkan rasa ingin tahuku waktu kecil saat jawaban-jawaban yang kudapat dari orang lain justru membuatku semakin bingung. Mulai pertanyaan pelajaran, berita politik yang kudengar sampai dongeng-dongeng pun kutanyakan padanya. Mengapa banyak orang yang takut kepada pohon besar, apakah memang benar ada jin yang hidup di dalamnya? “Itu syirik, tidak boleh. Pohon itu pohon biasa seperti pohon-pohon yang lain!”, begitu jawaban Nenekku.


Tapi jawaban berbeda justru kudapatkan dari Pung Uleng, guru favoritku ini. Dia dengan bijak mengatakan, “Orang jaman dulu membuat cerita seperti itu agar kita menyayangi pohon tersebut, karena pohon itu banyak manfaatnya, dia banyak menghisap air jika curah hujan lebat, kalau kamu jalan-jalan di sana pada siang hari, kamu tidak akan kepanasan kan?”. Saya mengangguk dalam hati. Dia guru terbaik yang pernah kukenal.

Mitos-mitos semacam ini memang pernah hidup di nusantara, banyak orang membawa sesajen di bawah pohon besar, ada pula kepercayaan Hindu yang berasal dari India dimana para bertapa dianjurkan bersemedi di bawah pohon besar. Yah begitulah sejarah mengungkapkan bahwa nusantara terbangun dari nilai mistis, sangat dipengaruhi oleh agama Hindu yang berasal dari India. Di India sendiri, pernah terjadi pemberontakan dahsyat yang ada hubungannya dengan pohon, lebih dikenal dengan nama Chipko Movement, chipko artinya memeluk. Hutan tempat mereka menggantungkan hidup sehari-hari terancam digusur oleh pemerintah. Uniknya, aksi memeluk pohon ini dilakukan oleh para perempuan.

Apakah episode Shaun The Sheep yang ini dipengaruhi oleh Chipko Movement tersebut? Yah kita tidak dapat mengingkari, India pernah sebegitu mengubahnya wajah dunia. Siapa yang tak mengenal Gandhi, masa mudanya dihabiskan untuk belajar menghargai perbedaan tanpa mengikutsertakan kekerasan. Ini seperti menampar keras negara-negara Eropa yang merasa paling ter di dunia dengan memamerkan persenjataannya yang canggih melalui perang. Seketika masyarakat dunia merasa harus pindah haluan, menuju ke Asia. Jadilah pemikiran-pemikiran Gandhi mewarnai dunia, tak lupa ‘sedikit’ kultur India mempengaruhi kaum muda pemberontak perang masa itu.

Kaum ini, kemudian lebih dikenal dengan nama hippy. John Lennon yang sangat mengagumi Gandhi mengantarkan The Beatles memutuskan untuk mengadakan perjalanan spiritual ke India. Jadilah musik ‘empat ajaib’ ini disusupi musik khas sitar petikan George Harrison. The Beatles kemudian melepaskan kostum jas seragamnya dan tak lagi mengenakan rambut moptop. Bukan The Beatles kalau mereka tak bisa mempengaruhi dunia, banyak pemuda mengenakan warna-warni (warna cerah khas India) turun ke jalan seolah menghina media dan televisi yang masih diisi hitam-putih. Mereka mengajak untuk berhenti mendengarkan berita tentang betapa hebatnya negara mereka dengan berperang, pikirkan tentang berapa orang yang telah dibunuh oleh negaramu.


Mereka membagi-bagikan bunga kepada yang mereka temui,  bahkan memasangkan bunga pada moncong senjata para aparat yang mengawal aksi mereka di jalan. Mengajak orang sebanyak mungkin berkumpul di sebuah tanah lapang yang luas, mendengarkan lagu-lagu keresahan akan perang atau sekedar pentas puisi menuntut perdamaian. Kemudian dikenallah Pete Seeger yang terkenal dengan Hammer Song-nya, Bob Dylan yang mengajak kita bertanya kepada angin (lebih tepatnya bertanya pada diri sendiri), atau puisi Allen Ginsberg yang menemukan banyak airmata di ‘library’ negaranya sendiri. Isu tak melulu tentang perang dan damai, masih banyak tema yang mereka suarakan.

They took all the trees, and put em in a tree museum
And they charged the people a dollar and a half to see them
No, no, no, don't it always seem to go
That you don't know what you've got till it's gone
They paved paradise, and put up a parkin' lot

Begitulah rangkaian lagu ciptaan Joni Mitcell membayangkan masa depan. Saat tak ada tempat bagi petani atau sekedar lahan untuk para pejalan kaki karena semuanya telah berfungsi sebagai parkir. Tak ada lahan kosong lagi untuk alam sebab pabrik-pabrik yang begitu banyaknya telah dibiarkan bernafas senyaman mungkin, sementara pohon-pohon telah diawetkan (hanya) menjadi pajangan di museum.

* * *

Beberapa bulan lalu saya sepete-pete* dengan dua orang bule. Mereka menyetop pete-pete ini dari Pasar Sentral menuju ke Terminal Daya. Saya memberanikan bercakap-cakap dengan mereka padahal Bahasa Inggris saya terbilang menyedihkan. Haha! Saya pun tahu, mereka berasal dari New Zealand, tujuan mereka ke Tana Toraja. Tapi, saya sebagai orang timur dibuat mereka lumayan berfikir. Selama ini saya tahu mereka orang yang dimanjakan kecanggihan, mengapa pula mereka mau repot-repot berpanas-panas ria mengendarai pete-pete padahal naik taxi bisa lebih nyaman bagi mereka.

Atau jangan-jangan mereka berwisata ke endonesa justru menghindari kecanggihan, bosan dengan berbagai kemudahan itu, apalagi saya pernah mendengar di Eropa sedang santer-santernya pertanian organik.  Mereka tertarik dan menganggap ketradisionalan unik, kenapa justru kita senang terlihat modern? Tak bisakah kita seperti dua tetanggaan yang berbeda, dimana Barat yang berlimpah kemudahan, sehari-hari menyantap makanan instan, yang sesekali mengunjungi tetangganya si Timur yang masakannya lebih enak dan lebih menggiurkan karena diolah secara alami dan manual? Saya sering sekali menonton di televisi, bule-bule tanpa gengsi membeli keperluannya (itu Thailand apa Filipina yah?) pada penjual pinggir jalan sedangkan kita (dan pemerintah kita) senang menggusur para pedagang kecil untuk memajang mall dengan bangga?

Apakah timur dan barat akan tertukar? Hehe, mari 'memeluk' bumi yang telah jomblo dan jablay...



Nb : tulisan semakin aneh bin ngawur, sepertinya otakku sedang pedekate dengan d.o.
* : angkot