Lagi lagi, aku akan bercerita tentang si N, salah 
satu N dari banyak N yang menjadi puzzle hidupku di muka bumi ini. N 
yang puitis yang selalu bersedia menjadi Manusia Telinga bahkan sebelum 
aku berkata apa-apa.
Oh… N, aku tak tahu harus menyaingi puisimu seperti apa. Ketika 
kudapati kabar itu. Puisimu selalu kubanggakan, terlebih saat kau 
tetAskan airmata di setiap hurufnya. Tapi malam ini, puisimu sangat tak 
beraturan kata-katanya. Kau melupakan Sutardji-mu! Aku membencimu yang 
seperti ini!
Aku menangisimu! Menangisi betapa pilunya kisahmu, betapa merananya 
dirimu yang terpaksa kehilangan dua lelaki sahabatmu. Aku menangisimu, 
menangisi kalian yang memerankan kisah ini dengan setengah hati. 
Betapapun aku mencintai duka, namun lakon yang kalian perankan sungguh 
sangat menyakitiku!
Aku menangisimu –andai kau melihatnya– karena aku tak punya kata-kata
 lagi untuk kutuliskan untukmu. Aku menangisimu, dan kusodorkan bahuku 
padamu. Andai aku membersamaimu, tapi kau tak benar-benar membutuhkan 
bahuku. Katamu, kau hanya butuh bahagia.
Tapi bagaimana aku bisa membantumu untuk bahagia? Aku tahu seperti 
apa hidupmu. Terlebih setelah kepergian lelaki sahabatmu yang kedua ini,
 kau akan menjadi semakin ‘alien’, kau akan selalu memilih untuk hidup 
di luar angkasa daripada di dalam rumah bumimu sendiri. Lalu kau akan 
berkata akan lebih senang bila segera menyusul mereka. Arggh!Aku sungguh
 membencimu saat kau terlalu sering mengatakan itu! Aku membencimu yang 
seperti ini, N! karenanya aku tak tahu bagaimana membantumu untuk 
bahagia.
Aku tahu cerita kenanganmu yang melebihi satu dasawarsa dengannya. 
Satu dasawarsa! dan kau telah menjaga hatimu selama lebih dari satu 
dasawarsa! Kau sungguh membanggakanku! Kau menghadirkannya sebagai 
inspirasi di hampir semua puisi-puisimu. Kau menjadikannya ayah bagi 
bunga-bunga harammu.
N.., kau tak perlu berpura-pura tegar, dan aku tak perlu menghapal 
naskah nasehat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Karena kau bukan anak
 kecil yang tidak menyadari keadaanmu sendiri. Kalau kau mau menangis, 
maka lakukanlah! Lakukan sampai kau lupa apa yang kau tangisi. Sampai 
kau lupa untuk puas menangis. Menangislah! Bila kau bertekad untuk 
mengiringi jejak-jejaknya dengan airmata.
Kau tak perlu memintaku untuk membantumu bahagia, karena kau tentu 
tahu bahwa aku tak kan tahu bagaimana caranya. Lantas mengapa kau 
memintaku untuk membantumu bahagia? Padahal aku sama sekali tak tahu 
bagaimana caranya!
Aku tak tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu. Karenanya, kau tak kan
 membutuhkan petuah-petuahku, kau takkan membutuhkan nasehat-nasehatku. 
Maka ijinkan aku menangis saja, mengikuti tangismu. Karena aku sadar 
tidak kan bisa memberimu apa-apa.
Aku tak tahu bagaimana aku bisa membantumu untuk bahagia. Aku hanya 
punya lisan untuk berdoa, dan kau hanya akan memaksakan diri untuk 
terpuaskan dengan doa-doa. Aku hanya punya bahu yang bisa kau pakai 
untukmu menangis, tapi tidak, yang kau butuhkan adalah bahagia….
Makassar, 3 September 2009
Maafkan aku N, biarkan ALLAH yang membahagiakan kalian dengan RamadhanNYA
