Apakah melihatmu
membutuhkan teleskop atau mikroskop?*
Saya sepertinya harus sering-sering minta maaf kepada
beberapa teman akrabku sendiri walau saya tahu mungkin mereka merasa saya tak
punya salah. Saya terlalu banyak berfikir negatif tentang mereka terlebih-lebih
mengenai diri saya sendiri, untuk apa mereka bertahan menjadi teman saya
padahal saya tak punya apa-apa untuk dibanggakan. Sebenarnya, sulit bagi saya
menyebut mereka sahabat, hanya masa depan yang layak mengujinya. Sahabat bagi
saya adalah “barang mewah”. Sahabat itu pekerjaan hati. Bukan soal hartamu,
bukan soal intelektualmu, bukan soal umur atau apapun.
Maka ketika penyakit rindu itu kumat, kita membuat benteng
sendiri, planet kita sendiri, lebih banyak membayangkan daripada menerima
kenyataan. Rindu itu gejala meng-alien, menjauh
dari riuh, berkonsentrasi, membuktikan bahwa kita tak pernah lupa dengan
mereka. Sampai suatu saat kita benar-benar mencintai merindukannya, tak perlu
lagi kehadirannya, benar-benar telah alien. Kita terus-terusan mencatat “kita
pernah blablabla…”. Kenyataannya, tidak
ada yang bisa memaksa seseorang untuk terus menyukai kita.
Yah, hanya alien yang selalu rindu, selalu ingat, karena lupa dan bosan itu konon manusiawi.
Yah, hanya alien yang selalu rindu, selalu ingat, karena lupa dan bosan itu konon manusiawi.