Apa salahnya menjadi alay? Apakah alay bisa seberbahaya korupsi sehingga sangat pantas dicela? Apa bedanya alay dengan mereka yang "anti-mainstream"? Jika mereka membuat kacau tatanan bahasa yang selama ini berlaku, kalau mereka ingin membuat bahasa mereka, mengapa tidak. Sama seperti golongan "anti-mainstream" (bukan semuanya) yang suka memandang sebelah mata selera orang lain seolah selera mereka yang paling baik. Apa bedanya? Kalian, sama seperti apa yang kalian benci.
Sepekan ini ramai beberapa teman memanggil untuk datang ke sebuah acara sastra Makassar, kabarnya berkumpul beberapa penulis kelas nasional dan internasional. Sudah dua kali diadakan, tahun ini dan tahun lalu. Tapi saya tidak tertarik untuk datang, saya mengakui kalau sudah setengah tahun ini saya merasa sangat payah, tidak ingin istimewa, tidak ingin berbuat sesuatu, tidak mau memperdulikan apapun, tidak ada yang menarik untuk diikuti.
Ada beberapa penulis yang menurut penuturan beberapa teman tiba-tiba eksklusif ketika mereka populer dan terkenal. Dulu, dia rela diundang, kemana saja, dengan dana yang terbatas untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Mungkin waktu itu dia baru "calon penulis", namun berbeda ketika gelar itu telah tersemat pada dirinya. Sama seperti ketika ngobrol dengan sepupu tentang seorang udztas terkenal yang dulu ikhlas dibayar seadanya untuk ceramah, tapi setelah dia sudah jadi da'i seleb dia memasang tarif puluhan juta. Alasannya, itu untuk biaya transport dan konsumsi manajemennya.
F*ck, nasehat yang bisa kau dapatkan gratis di rumah dari mulut nenekmu sendiri, sekarang orang-orang harus membayarnya puluhan juta. Ingin teriak "Tuhaaaaan, Kau harus kubayar berapa atas semua firmanMu!". Betapa kejamnya sikap eksklusif itu, tapi saya mengatakan begitu karena saya (katakanlah) pihak korban, saya tidak tahu apa yang ada di kepala mereka. Tapi yang jelas sekarang, saya benci keeksklusifan itu. Saya tak punya mimpi lagi jadi penulis, tak ada lagi di kepala ini hal-hal yang menarik.
Hal-hal menarik itu semua sudah diborong orang lain, saya bisa menikmati sekian banyak lagu tapi lagi-lagi terdengar cemen di telingaku, yang terhebat di ruang dengarku hanya Bob Dylan dan The Beatles. Saya merasa alay, semua hal bisa sangat menakjubkan pada mulanya tapi beberapa jam kemudian semua pesona itu hambar dan saya tak peduli lagi. Memang sangat merana rasanya hidup tanpa mimpi-mimpi itu lagi, tapi yah mau diapa lagi, tak ada yang menarik.
Dan tiba-tiba berfikir, saya yang sok putus asa, pesimis, merasa tak pantas ini-itu, pada akhirnya, mereka atau sayalah yang sok eksklusif? Kalian, sama seperti apa yang kalian benci.